Bisnis.com, JAKARTA – Satu per satu perusahaan tambang undur diri dari lantai bursa. Dalam waktu dekat, giliran PT Cakra Mineral Tbk. yang hengkang dari keluarga perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia.
Menjelang penghapusan pencatatan saham PT Cakra Mineral Tbk. pada 28 Agustus 2020, perdagangan di pasar negosiasi untuk saham CKRA hanya tinggal sebulan lagi.
Berdasarkan pengumuman penghapusan pencatatan efek yang dirilis Bursa Efek Indonesia, perdagangan di pasar negosiasi selama 20 hari bursa dilakukan pada periode 27 Juli — 27 Agustus 2020. Selanjutnya, CKRA akan efektif delisting pada 28 Agustus 2020.
Adapun, suatu saham dapat di-delisting secara paksa apabila perusahaan mengalami kondisi atau peristiwa yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha.
Selanjutnya, penghapusan pencatatan saham di BEI juga dapat dilakukan apabila saham perusahaan tercatat telah disuspensi sekurang-kurangnya 24 bulan di pasar reguler dan pasar tunai.
Sebelumnya, perdagangan saham CKRA telah disuspensi oleh bursa sejak 2 Juli 2018.
Baca Juga
“Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka bursa memutuskan penghapusan pencatatan efek PT Cakra Mineral Tbk. (CKRA) dari Bursa Efek Indonesia efektif sejak tanggal 28 Agustus 2020,” tulis Kadiv. Penilaian Perusahaan 3 Goklas Tambunan dan Kadiv Pengaturan dan Operasional Perdagangan Irvan Susandy, seperti dikutip pada Senin (27/7/2020).
Selain CKRA yang merupakan produsen dan eksportir logam bijih besi dan pasir zircon, emiten tambang lainnya yang berpotensi delisting secara paksa adalah PT Akbar Indo Makmur Stimec Tbk. (AIMS) dan PT Sugih Energy Tbk. (SUGI).
Pada awal tahun ini, emiten tambang batu bara PT Borneo Lumbung Energy & Metal Tbk. (BORN) telah lebih dulu pamit dari lantai bursa setelah sahamnya disuspensi hampir 5 tahun.
I Gede Nyoman Yetna Setya, Direktur Penilaian Perusahaan BEI, mengatakan suatu emiten yang di-delisting secara paksa biasanya merupakan perusahaan yang going concern usahanya terganggu atau tidak memenuhi ketentuan bursa.
Untuk melindungi investor publik, bursa pun mengeluarkan pengumuman terkait potensi delisting dalam 6 bulan sekali sejak saham emiten disuspensi.
Pada periode tersebut, bursa juga melakukan dengan perndapat dengan pihak emiten untuk meminta penjelasan mengenai rencana bisnis dalam rangka memperbaiki hal-hal yang menjadi penyebab suspensi dari bursa.
Apabila perusahaan tersebut tak mampu memperbaiki diri dan akhirnya terkena delisting paksa, bursa pun tak akan mengizinkan direksi, komisaris, termasuk pemegang saham pengendali untuk menduduki jabatan dewan direksi, komisaris, maupun pemegang saham pengendali calon emiten di Bursa Efek Indonesia.
“Bursa tidak mengizinkan direksi, komisaris termasuk pemegang saham pengendali yang mengakibatkan sebuah perusahaan tercatat di-delist oleh Bursa (forced delisting) untuk menduduki jabatan sebagai direksi/komisaris dan/atau sebagai pengendali di calon perusahaan tercatat yang akan masuk sebagai perusahaan tercatat baru di bursa,” kata Nyoman pekan lalu.