Bisnis.com, JAKARTA — Bank Commonwealth memperkirakan butuh waktu hingga 18 bulan bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) untuk kembali ke level sebelum pandemi, yaitu di atas 6.000.
Pada akhir tahun nanti, Bank Commonwealth sepakat dengan Sucor Asset Management bahwa IHSG hanya mampu ditutup pada level 5.500. Berdasarkan data Bloomberg, IHSG bergerak pada level 5.070 pada perdagangan Selasa (14/7/2020) pukul 14.22 WIB. Indeks anjlok 19,51 persen dari level pada akhir 2019 sebesar 6.299.
Kendati masih di zona merah secara year to date atau sejak awal Januari 2020, IHSG telah bangkit hampir 30 persen setelah terpuruk ke level terendah 3.937 pada 24 Maret 2020.
Head of Wealth Management & Premier Banking Bank Commonwealth Ivan Jaya menjelaskan secara historis dibutuhkan waktu 11—18 bulan bagi IHSG untuk kembali ke level sebelum indeks terpuruk ke level terendah.
Hal itu terlihat pada 2008 ketika IHSG anjlok 61 persen menuju level 1.000-an. Kala itu, terjadi krisis keuangan di seluruh dunia akibat skandal sekuritisasi kredit perumahan di AS.
Dalam periode 17 bulan kemudian, indeks berhasil bangkit ke level sebelum krisis. Bahkan, pada 2010 indeks melejit 277 persen menuju level 3.700-an.
Baca Juga
“Dari data historis menunjukkan, dari titik sebelum indeks jatuh sampai titik terendah dan kembali ke titik awalnya itu membutuhkan waktu antara 11—18 bulan,” jelas Ivan dalam acara BizInsight Online bersama Sucor AM dan Bank Commonwealth secara daring, Selasa (14/7/2020).
Menurut Ivan, pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 akan lebih cepat ketimbang pemulihan pada krisis-krisis sebelumnya. Dirinya menunjukkan bahwa kondisi perekonomian Indonesia saat ini jauh lebih baik ketimbang krisis pada 2008 dan 1998.
Ivan pun merekomendasikan instrumen investasi seperti reksa dana saham bagi investor yang ingin menikmati cuan saat IHSG kembali ke level sebelum pandemi.
Bagi masyarakat yang memiliki profil risiko agresif, porsi reksa dana saham disarankan sebesar 60 persen, reksa dana pendapatan tetap sebesar 25 persen, dan reksa dana pasar uang sebesar 15 persen.
Sementara bagi investor yang memiliki profil risiko moderat yang tidak ingin melihat volatilitas berlebihan, porsi reksa dana saham bisa diatur sekitar 25 persen, reksa dana pendapatan tetap sebesar 40 persen, dan reksa dana pasar uang sebesar 35 persen.
Selain berinvestasi pada instrumen reksa dana saham, Ivan melihat investasi di instrumen Surat Utang Negara (SUN) juga cukup menarik. Pasalnya, potensi penurunan suku bunga sebanyak 1—2 kali lagi dari Bank Indonesia akan membawa angin segar bagi harga obligasi.
“Pemotongan suku bunga itu berbanding terbalik dengan peningkatan harga obligasi. Kalau suku bunga turun, obligasi naik,” tutur Ivan sambil menambahkan bahwa investor juga akan mendapat keuntungan dari kupon selain dari capital gain obligasi.