Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menegaskan bahwa pemerintah tidak akan membiarkan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. gulung tikar untuk menghindari monopoli industri penerbangan.
Erick Thohir menjelaskan bahwa dari seluruh BUMN yang ada, 90 persen di antaranya terdampak pandemi Covid-19. BUMN di sektor transportasi, termasuk Garuda Indonesia menjadi perusahaan pelat merah yang paling terdampak.
Dengan adanya pandemi Covid-19, Garuda Indonesia mengalami penurunan permintaan akibat pembatasan mobilitas masyarakat. Akibatnya pendapatan menipis dan arus kas terganggu.
Selain itu, Garuda Indonesia juga persoalan kewajiban atau liabilitas yang cukup besar. Mayoritas utang perseroan berbentuk kewajiban jangka pendek yang akan jatuh tempo dalam 12 bulan ke depan.
Namun demikian, Erick menyatakan bahwa pemerintah tidak akan membiarkan Garuda Indonesia mati di tengah pandemi Covid-19. Menurutnya, hal ini dilakukan untuk menghindari monopoli industri penerbangan di Tanah Air.
“Jika ditutup sekarang, akan jadi monopoli. Saya bukan anti Lion Air, mohon maaf. Tapi, kalau jadi hanya satu-satunya maskapai, jadinya monopoli,” katanya dalam diskusi virtual, baru-baru ini.
Baca Juga
Menurutnya, dengan kehadiran Garuda Indonesia saja industri penerbangan domestik berada dalam kondisi pasar oligopoli yang tidak sehat. Kondisi ini akan lebih parah jika membiarkan maskapai tunggal menguasai pasar.
“Kemarin saja sebelum saya jadi menteri, ribut harga tiket mahal karena oligopoli,” ujarnya.
Menurutnya, dalam kondisi ini pemerintah melalui BUMN memiliki tanggung jawab untuk masuk ke pasar. Dia menyebut salah satu fungsi BUMN adalah untuk menghindari praktik tidak sehat di industri.
“Hal inilah yang menjadi daya tarik BUMN, ketika ada persaingan tidak sehat, maka BUMN harus masuk, kadang-kadang juga harus rugi,” katanya.
Penurunan kinerja Garuda Indonesia sudah terlihat pada kinerja kuartal I/2020. Meski pandemi baru terjadi pada akhir periode tersebut, perseroan mencatatkan rugi bersih US$120,16 juta.
Di sisi lain, Garuda juga memiliki total utang yang cukup besar. Hingga akhir Maret, perseroan memiliki total kewajiban US$8,64 miliar. Posisi liabilitas perseroan membengkak 131,44 persen terhadap posisi liabilitas pada akhir 2019 sebesar US$3,73 miliar.
Penyebab utama hal ini terjadi adalah liabilitas jangka panjang perseroan sebesar 940,71 persen terhadap posisi akhir 2019, menjadi US$4,96 juta. Hal ini terjadi akibat liabilitas sewa pembiayaan melonjak dari US$35.340 menjadi US$3,98 miliar karena implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73.
Meski begitu perseroan berhasil mendapatkan pengampunan negative covenants dan penambahan fasilitas kredit dari perbankan. Perseroan juga berhasil memperpanjang jatuh tempo utang obligasi US$500 juta hingga 3 tahun ke depan.
Namun, hal ini belum cukup untuk menjamin Garuda Indonesia tetap selamat di tengah hantaman Covid-19. Pasalnya, pandemi masih terus berlangsung dan potensi pendapatan perseroan kian menipis.
Oleh karena itu, pemerintah memasukkan Garuda Indonesia sebagai salah satu calon penerima dukungan dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Melalui program ini, pemerintah akan menyuntik perseroan dengan bantuan dana talangan untuk modal kerja sebesar Rp8,5 triliun.
Dalam dokumen paparan Kementerian Keuangan yang diperoleh Bisnis, disebutkan bahwa pemberian dana talangan diambil karena opsi penyuntikan modal sulit terjadi. Pasalnya, opsi itu tidak cukup favourable untuk pemegang saham minoritas.
Hingga Maret 2020, Pemerintah Indonesia memiliki menggenggam 60,53 persen saham emiten berkode GIAA tersebut. Sementara itu, PT Trans Airways—perusahaan milik pengusaha Chairul Tanjung—menggenggam 25,61 persen saham GIAA.
Dalam dokumen yang sama, Kemenkeu menuliskan urgensi pemberian dukungan ini salah satunya adalah untuk menghindari pasar monopoli. Selain itu, Garuda juga dianggap kebanggan Indonesia sebagai maskapai nasional yang harus tetap ada.
Tertulis dalam dokumen tersebut, apabila Garuda Indonesia tidak mendapatkan dukungan maka perseroan berpotensi berhenti operasi. Hal ini juga bisa berujung pada gugatan pailit ataupun proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Sementara itu, Associate Director BUMN Research Group (BRG) LM-Universitas Indonesia Toto Pranoto menjelaskan Garuda Indonesia memang telah memiliki masalah kinerja, bahkan sebelum pandemi Covid-19 tiba.
Dia menilai dalam kondisi saat ini, langkah pemberian dana talangan adalah opsi yang terbaik. Pasalnya, dia memahami bahwa pemilik saham lain seperti Trans Airways pasti enggan ikut menyuntik Garuda Indonesia.
Toto menilai bahwa Chairul Tanjung saat ini belum mendapatkan ‘untung’ dari investasi saat Garuda Indonesia melakukan initial public offering (IPO). Harga saham GIAA saat ini berada jauh di bawah harga IPO, sehingga menurutnya Chairul Tanjung enggan kembali menggelontorkan dana.
“Jadi kelompoknya Chairul Tanjung waktu dia beli harga IPO, harga setelah IPO, harga belum pernah menyentuh kisaran yang sama. Jadi dari situ, pemilik saham Garuda ini belum menikmati capital gain lah,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.
Namun, dia mengharapkan Chairul Tanjung dapat menunjukkan itikad baik dengan ikut membantu Garuda Indonesia. Jika pemerintah memberikan bantuan dana talangan modal kerja Rp8,5 triliun, lanjutnya, minimal Chairul Tanjung juga memberikan bantuan dengan nilai serupa.