Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia berambisi untuk terus menurunkan nilai tukar rupiah terhadap dollar hingga lebih dari Rp13.885.
Akhir perkan ini, Gubernur BI Perry Warjiyo meyakini rupiah masih akan terus menguat dibandingkan dengan dollar. Padahal sebelumnya, Perry memperkirakan nilai tukar rupiah dapat mencapai level Rp15.000 per dolar AS pada akhir 2020.
Meski sudah melampaui target, Perry masih optimistis rupiah dapat melebih ekspektasi pasar. Sebagai informasi mata uang garuda telah menguat 15,45 persen dari level Rp16.413 sejak kuartal II/2020 bergulir.
"Ini menunjukkan penguatan dengan pandangan kami bahwa nilai tukar hari ini masih undervalue sehingga ke depan masih berpotensi menguat," tegasnya dikutip Sabtu (6/6).
Menurut Perry, rupiah masih undervalue karena beberapa faktor seperti inflasi domestik yang rendah, defisit transaksi berjalan yang rendah, perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri, dan premi risiko yang turun.
Untuk perbedaan suku bunga, interest rate differential SBN dan US treasury 10 tahun telah mencapai 6,2 persen. Seperti diketahui, yield atau imbal hasil SBN mencapai 7,06 persen, sementara US treasury hanya sebesar 0,8 persen.
Baca Juga
Dengan demikian, pemilik dollar US dapat segera menukar valas untuk mendapatkan gain yang optimal sebelum penguatan rupiah terus berlanjut.
Pasalnya, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) pun menginginkan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) mampu berada di bawah level Rp10.000 agar mampu memproduksi baterai lithium pada 2023 mendatang.
Pemerintah pusat bahkan pada 1 Januari 2020 lalu mempercepat penutupan pintu keluar ekspor bijih nikel berkadar rendah dari sebelumnya yang akan direncanakan pada 2022.
Akan tetapi, penguatan rupiah memberikan efek samping terhadap dividen per share atau dividen per saham (DPS) bagi PT Bukit Asam Tbk. (PTBA). JP Morgan menilai PTBA diproyeksi memiliki DPS Rp228,55 per saham dengan dividen yield 13 persen.
Pada tahun selanjutnya DPS diproyeksi turun menjadi Rp198,2 per saham dengan dividen yield 10,9 persen. Risiko penurunan juga disebabkan oleh depresiasi nilai tukar rupiah.