Bisnis.com, JAKARTA — Sektor teknologi dan digital disebut-sebut bakal jadi salah satu yang paling mendapat keuntungan dari kehidupan bermasyarakat pasca pemberlakuan kenormalan baru atau new normal. Namun, kondisi ini tidak serta merta mencerminkan prospek kinerja emiten-emiten yang masuk kategori ini.
Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan mengatakan sektor teknologi dan digital memang memiliki daya pikat cukup tinggi beberapa tahun belakangan seiring dengan kian masifnya penggunaan teknologi untuk aktivitas sehari-hari.
“Ini juga kenapa 1-2 tahun belakangan bursa kita ramai kedatangan emiten teknologi,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (4/6/2020)
Akan tetapi, dia menyebut maraknya perusahaan-perusahaan teknologi yang masuk bursa tidak mampu menggambarkan kondisi sektor aslinya. Sebab, kebanyakan perusahaan teknologi yang melantai bukan merupakan pemain utama di bidangnya.
Alfred melihat mayoritas emiten teknologi yang tercatat di bursa adalah pemain-pemain kecil. Bahkan tidak sedikit memiliki kapitalisasi pasar yang sangat rendah, terutama perusahaan-perusahaan rintisan yang mulai masuk bursa baru-baru ini.
Selain itu, Alfred menilai definisi sektor teknologi untuk emiten-emiten yang ada di bursa terlalu luas karena bidang teknologinya bermacam-macam dengan model bisnis yang sangat berbeda satu sama lainnya. Selain itu, bursa juga belum membuat kategori ini secara khusus.
Di lain pihak, dari sisi pergerakan harga emiten, Alfred menyebut saham-saham perusahaan teknologi cenderung memiliki rekam jejak yang buruk karena pergerakan harganya selepas penawaran umum perdana (IPO) kerap tidak wajar.
Dia mencontohkan saham perusahaan penyedia jasa teknologi informasi PT Envy Technologies Indonesia Tbk. (ENVY). Belum genap setahun melantai, sahamnya sempat tiga kali disuspensi oleh BEI akibat penurunan yang tidak wajar.
Berdasarkan data BEI, per penutupan perdagangan Kamis (4/6/2020) harga saham ENVY berada pada level Rp88 per saham. Adapun saham ENVY tercatat telah ambles lebih dari 90,22 persen secara year to date.
Meskipun demikian, amblesnya harga ENVY bukan berarti fundamental perseroan tidak baik. Alfred menilai saham-saham teknologi ini—terutama yang belum lama memasuki bursa—rentan terkena distorsi.
“Bukan harga Rp88-nya yang membuat investor bingung, tapi kenapa bisa turun, itu yang gak bisa dijelaskan. Ada indikasi harga bubbling dan emiten teknologi lain trennya juga begitu,” tutur Alfred.
Di antara emiten teknologi—termasuk perusahaan rintisan—yang ada di bursa, hanya segelintir yang menurutnya masih cukup menarik, antara lain PT M Integrasi Tbk. (MCAS) dan PT Metrodata Electronics Tbk. (MTDL).
Menurutnya, secara valuasi emiten penyedia platform payment gateway MCAS masih terbilang murah dan memiliki prospek yang tidak buruk. Sementara MTDL dinilai stabil baik secara fundamental maupun secara historis pergerakan harga saham.
“Perusahaan yang menyediakan perangkat TIK seperti Metrodata ini saya kira prospeknya bagus, karena ke depannya semua industri akan go digita, jadi pasti perlu perangkat-perangkat penunjang,” imbuhnya.
Secara terpisah, Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan dalam kondisi new normal yang tengah dihadapi saat ini, sektor teknologi memang cenderung akan diuntungkan. Pasalnya, dia menilai ekonomi tak akan kembali dengan model konvensional dan akan membutuhkan banyak dukungan teknologi.
Sebagai contoh, pembayaran akan lebih banyak menggunakan metode cashless karena uang tunai dikhawatirkan dapat menjadi transmisi virus. Selain itu, masyarakat juga akan semakin lazim berbelanja secara daring.
Kebiasaan-kebiasaan untuk mengurangi kontak dengan keramaian juga akan lestari. Hans menyebut masyarakat bakal melanjutnya perilaku komunikasi secara virtual melalui platform video conference.
Sayangnya, tak banyak perusahaan yang berkecimpung di bidang-bidang tersebut yang sudah mencatatkan diri di bursa. Sehingga tak dapat mencerminkan potensi pertumbuhan sektor teknologi.
“Kalau di luar itu kan seperti Zoom, Microsoft, Google, ada di bursa jadi memang naik. Kalau di sini kebanyakan belum go public, seperti e-commerce atau penyedia pembayaran,” kata Hans.
Dari perusahaan publik yang ada, Hans malah menyebut saham-saham perusahaan penunjang teknologi yang akan moncer, seperti saham perusahaan telekomunikasi karena adanya kenaikan trafik yang diprediksi terus tumbuh.
“Sudah terlihat selama PSBB ini trafik mereka naik, ke depannya kebutuhan teknologi pasti tidak lepas dari internet,” tambahnya.
Meskipun demikian, Hans menilai tak menutup kemungkinan emiten teknologi lain yang ada di bursa dapat terkena imbas positif. Sebab, di era new normal saat ini dia memproyeksikan akan makin banyak perusahaan yang menggunakan sistem komputerisasi.
Menurut Hans, kegiatan industri terutama yang padat karya seperti sektor manufaktur akan berubah dan lebih banyak mengandalkan mesin yang tentunya membutuhkan infrastruktur teknologi.
“Kalau mereka [emiten teknologi] ada yang punya bisnis di bidang itu saya rasa masih dapat imbas positif juga dari era new normal yang serba digital ini,” tukasnya.