Bisnis.com, JAKARTA – Obligasi Australia diproyeksi menjadi salah satu instrumen perdagangan paling atraktif saat ini setelah The Reserve bank of Australia (RBA) menolak memangkas suku bunga hingga ke teritori negatif.
Dilansir dari Bloomberg pada Rabu (3/6/2020), kebijakan RBA yang menolak memberikan tingkat bunga dibawah nol membuat obligasi negara ini menjadi buruan para investor. Perusahaan manajemen investasi seperti PGIM Inc. dan JPMorgan Asset Management telah membeli obligasi milik negara tersebut senilai US$482 miliar.
Salah satu faktor utama yang menjadikan obligasi Australia atraktif di mata investor adalah kebijakan RBA yang berjanji akan menjaga tingkat acuan imbal hasil (yield) obligasi Australia di level 0,25 persen.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan negara tetangganya, Selandia Baru, yang tengah membahas kemungkinan penetapan tingkat imbal hasil negatif, dan Jepang yang telah memberlakukan kebijakan serupa sejak 2016 lalu.
“Obligasi Australia saat ini sangat kompetitif dan didukung oleh kebijakan pemerintah setempat. Mereka juga memiliki nilai penyimpanan yang baik bila dibandingkan dengan emerging market lainnya,” jelas Head of Global Bonds and Chief Investment Strategist di PGIM Fixed Income Robert Tipp.
Saat ini, tingkat kepemilikan asing terhadap surat utang pemerintah Australia mencapai lebih dari 50 persen. Angka ini dapat bertambah mengingat adanya potensi kenaikan permintaan setelah terjadinya panic selling besar-besaran pada kuartal I/2020 akibat pandemi virus corona.
Baca Juga
Pada Maret lalu, investor Jepang membeli obligasi pemerintah Australia sebanyak US$ 1 miliar, jumlah pembelian terbesar dari Jepang sejak Juni 2019. Paa bulan Mei, pemerintah Australia menjual A$19 miliar obligasi untuk pembiayaan paket stimulus ekonomi sebesar A$130 miliar.
Meski demikian, sejumlah pihak juga masih menyimpan keraguan terhadap daya tarik obligasi Australia. Menurut laporan dari Brandywine Global Investment Management, hubungan dekat Australia dan China dinilai dapat menekan nilai aset Australia seiring dengan kenaikan tensi antara Amerika Serikat dan China.
“Mereka [Australia] berada di garis depan pada konflik China – AS. Hal ini dapat meningkatkan volatilitas dan membuat investor melakukan aksi jual,” ujar Portfolio Manager di Philadelphia, Jack McIntyre.