Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BI Tahan Suku Bunga, Dampak Pasar Obligasi Minim

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 18 Mei 2020–19 Mei 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 4,50 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 5,25 persen.
Pialang memperhatikan Yield SUN Indonesia/Antara-Prasetyo Utomo
Pialang memperhatikan Yield SUN Indonesia/Antara-Prasetyo Utomo

Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan Bank Indonesia untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate 4,50 persen diprediksi berdampak minim terhadap pasar obligasi Indonesia.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 18 Mei 2020–19 Mei 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 4,50 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 5,25 persen.

Bank sentral menyebut keputusan itu mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global meski dilihat adanya ruang penurunan suku bunga seiring rendahnya tekanan inflasi serta perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi pada 2020.

Head of Research & Market Information Department Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) Roby Rushandie mengatakan dampak dari keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan tidak signifikan ke pasar. Menurunya, pelaku pasar mengharapkan adanya penurunan suku bunga acuan.

Roby mengatakan keputusan BI juga tidak terlalu berimbas ke pergerakan harga obligasi di pasar sekunder.

“Karena tidak berubah [suku bunga] maka tidak ada imbas ke penerbitan SUN. Pemerintah juga on target untuk pemenuhan pembiayaan APBN terlepas dari pergerakan suku bunga acuan,” jelasnya kepada Bisnis.com, Selasa (19/5/2020).

Berdasarkan data Bloomberg, yield atau imbal hasil surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun berada di level 7,64 persen pada, Selasa (19/5/2020), pukul 16:30 WIB. Posisi itu turun tipis 0,052 dari 7,69 persen akhir sesi, Senin (18/5/2020).

Sebagai catatan, pergerakan harga obligasi dan yield obligasi saling bertolak belakang. Kenaikan harga obligasi akan membuat posisi yield mengalami penurunan sementara penurunan akan menekan tingkat imbal hasil.

Pengamat Pasar Modal Anil Kumar mengatakan pasar obligasi korporasi tetap menjadi pasar yang sangat berisiko untuk berinvestasi akibat ketidakpastian ekonomi global saat ini. Menurutnya, kegiatan ekonomi saat ini harus dilihat dengan kacamata global.

Anil menilai keputusan BI untuk menahan suku bunga acuan sudah tepat. Bank sentral menurutnya tidak perlu memotong suku bunga hingga pembukaan ekonomi akibat Covid-19.

Dia memprediksi imbal hasil obligasi dalam mata uang rupiah akan tetap mengalami penurunan. Pasalnya, kurva imbal hasil akan dimiliki oleh BI apabila investor asing tidak masuk ke pasar surat utang Indonesia.

Anil mengatakan penerbitan surat utang pemerintah dilakukan untuk mencegah Indonesia masuk ke dalam kondisi kontraksi. Artinya, langkah itu untuk menjaga semua rasio keuangan.

“Dengan kondisi baik, maka target akhir tahun untuk yield SUN tenor 10 tahun Indonesia adalah tetap 6 persen,” paparnya.

Dia menjelaskan bahwa pergerakan yield SUN tenor 10 tahun Indonesia dapat dipengaruhi dua skema. Pertama, investor asing masuk dan kebutuhan dolar Amerika Serikat (AS) yang dibutuhkan untuk kegiatan transaksi barang dan jasa dapat terpenuhi.

Masuknya dana investor asing, lanjut dia, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penerimaan pajak, serta akhirnya menurunkan defisit fiskal dalam jangka panjang. Dengan kondisi inflasi saat ini di kisaran 2 persen hingga 3 persen, imbal hasil Indonesia dapat turun.

Kedua, seandainya investor asing tidak masuk, kepemilikan dalam struktur obligasi Indonesia akan dipegang oleh BI sehingga dapat menggerakan yield ke level yang paling optimum untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.

“Kondisi pertama yang diharapkan untuk Indonesia, kondisi kedua hanya akan membuat ekonomi indonesia stagnan dan cenderung tidak bisa bertumbuh. Mana yang akan terjadi? tunggu dan lihat apa yang akan terjadi kepada ekonomi dunia saat ekonomi dunia mulai membuka diri lagi akan dimulai Juni 2020,” paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper