Bisnis.com, JAKARTA — Gejolak pasar modal sepanjang periode berjalan 2020 telah membuat puluhan saham LQ45 diperdagangkan dengan valuasi murah. Momentum pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) pun menjadi kesempatan bagi para investor untuk mengoleksi emiten dengan likuiditas tinggi dan fundamental baik.
Berdasarkan data Bloomberg, saat ini, terdapat 21 saham anggota indeks LQ45 yang diperdagangkan dengan Price Earning Ratio (PER) di bawah 10 kali hingga Jumat (15/5/2020). Beberapa di antaranya merupakan emiten berkapitalisasi pasar jumbo alias big caps.
PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) misalnya, diperdagangkan dengan PER 8,65 kali. Valuasi itu juga lebih rendah dibandingkan dengan produsen rokok lainnya yang menjadi kompetitor perseroan.
Di sektor keuangan, tiga saham perbankan pelat merah juga tengah diperdagangkan dengan valuasi murah dan jauh di bawah perusahaan sejenisnya. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) memiliki PER masing-masing 8,01 kali, 6,35 kali, dan 4,03 kali.
Nasabah berada di dekat logo PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. di Jakarta./Bisnis-Himawan L Nugraha
Baca Juga
Vice President Research Artha Sekuritas Frederik Rasali menjelaskan rata-rata PER emiten di Indonesia terus mengalami penurunan dan terlihat undervalued. Namun, investor masih cemas untuk berinvestasi ke dalam saham.
Dia menuturkan PER merupakan indikator historikal yang didapatkan dari membagi harga saham dengan Earning per Share (EPS). Di tengah periode ketidakpastian, EPS cenderung susah ditebak dan menurun.
Kondisi itu menyebabkan harga saham mengalami penurunan dan PER terlihat murah. Pasalnya, beberapa investor masih mengantisipasi penurunan EPS pada masa depan, sehingga PER akan kembali meningkat.
Frederik menyebut saat ini, terdapat beberapa emiten yang menarik dikoleksi oleh investor di tengah penurunan kondisi ekonomi. Selain memiliki PER murah, emiten-emiten itu memiliki prospek kinerja fundamental yang baik.
Dia menilai investor dengan jangka waktu investasi yang cukup panjang dapat melirik saham-saham perbankan. Meski terdampak penurunan ekonomi, sektor ini diyakini akan memimpin saat perekonomian pulih.
“Perbankan menarik untuk dikoleksi terutama untuk bank BUKU [Bank Umum Kegiatan Usaha] IV seperti BBRI, BBNI, BMRI,” jelas Frederik kepada Bisnis, Jumat (15/5).
Emiten yang dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat saat wabah berlangsung juga dipandang menarik untuk dikoleksi, misalnya PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. (JPFA), PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL), dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (TLKM).
Karyawan melayani pelanggan di pusat layanan pelanggan Telkomsel, anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Senin (27/1/2020)./Bisnis-Himawan L Nugraha
Di lain pihak, Head of Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan valuasi sejumlah emiten LQ45 memang sudah murah. Tetapi, investor perlu memahami hal itu umumnya terjadi karena proyeksi pendapatan yang diperkirakan menurun.
“Pada kuartal I/2020, beberapa emiten masih menunjukkan kenaikan sedangkan pada kuartal II/2020, diperkirakan dampak penuh pandemi dan juga berkurangnya operasional perusahaan akan sangat terasa serta menekan laba emiten,” paparnya.
Kendati demikian, Wawan meyakini sektor keuangan akan memiliki potensi rebound paling kencang setelah pandemi berlalu. Pasalnya, kebutuhan dana akan meningkat dan regulator akan memberikan banyak stimulus untuk mendorong roda perekonomian.
Dengan demikian, emiten bank dengan modal besar seperti PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), BBRI, dan BMRI menarik untuk dikoleksi jangka panjang. Emiten di sektor konsumer seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP), PT Unilever Indonesia Tbk. (UNVR), dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF) juga direkomendasikan karena penjualan justru meningkat saat masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
“Untuk investor yang memang bisa memiliki horizon panjang hingga 10 tahun, bisa belanja sekarang. Tetapi, untuk yang dananya akan digunakan hingga 3 tahun ke depan, idealnya hanya 20 persen dana investasi dalam bentuk saham,” jelas Wawan.
Sulit Diprediksi
Adapun Head of Equity Trading MNC Sekuritas Medan Frankie Wijoyo Prasetio mengemukakan saat ini, memang sudah banyak emiten yang terdiskon dibandingkan dengan harga awal tahun. Bahkan, beberapa saham perbankan sudah mengalami penurunan hingga 50 persen dari awal 2020.
Kendati demikian, dia menyebut sulit memprediksi bottom dari pasar. Berkaca dari data yang ada, ekonomi global termasuk Indonesia mengalami perlambatan di bawah ekspektasi analis pada kuartal I/2020 dan lebih buruk pada kuartal II/2020, karena adanya sejumlah pembatasan.
Karyawan melayani nasabah di salah satu kantor cabang milik PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. yang ada di Jakarta, Senin (25/2/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat
“Tetapi, untuk investor, resesi adalah kesempatan emas untuk membeli saham yang berkualitas dengan harga diskon. Oleh karena itu, saat ini boleh melakukan pembelian bertahap dan tentunya perlu menyiapkan kas jikalau market masih memberikan kesempatan untuk membeli lagi di harga yang lebih murah,” papar Frankie.
Untuk penghuni LQ45, dia cenderung menyukai PT Media Nusantara Citra Tbk. (MNCN) dan BBNI. Keduanya memiliki valuasi menarik dan pertumbuhan kinerja keuangan yang baik.
Saat dihubungi Bisnis, Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djajadi mengatakan disaat pandemi justru kesempatan selalu ada bahkan sangat menarik bagi para investor. Tetapi, pihaknya mengingatkan agar investor mencermati fundamental emiten.
“Namun, di saat saat laporan keuangan tahunan 2019 keluar dan juga menjelang RUPS [Rapat Umum Pemegang Saham] perlu diperhatikan perusahaan-perusahaan yang memang secara fundamental baik dan yang ada kemungkinan pembagian dividen,” ujarnya.