Bisnis.com, JAKARTA — Proyeksi alokasi perbankan hingga Rp100 triliun untuk menyerap obligasi pemerintah di pasar sekunder diyakini akan menjadi suntik tenaga bagi pasar surat utang negara.
Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana mengatakan proyeksi alokasi perbankan itu akan sangat baik untuk pasar surat utang negara (SUN). Menurutnya, kucuran dana itu akan memberikan tambahan likuiditas dan permintaan di pasar.
“Tetapi sayangnya, untuk kredit perbankan, tentunya hal tersebut akan semakin mengurangi jumlah kredit yang bisa disalurkan bank. Apalagi, jika tenor SUN yang dibeli merupakan seri-seri dengan tenor panjang,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (23/4/2020).
Fikri beranggapan akan lebih jika perbankan memposisikan diri sebagai investor SUN dengan karakteristik tenor pendek. Dengan demikian, mismatch balance sheet klasik perbankan dapat dijaga.
“Sebaliknya fungsi intermediasi perbankan, khususnya penyaluran kredit dan mendorong pert sektor riil, setelah pandemi dapat digenjot dengan lebih cepat,” jelasnya.
Dia mengharapkan agar langkah itu tidak menimbulkan masalah baru. Hal itu khususnya adverse selection dan moral hazard di perbankan di samping mungkin akan menyebabkan beberapa kebijakan Bank Indonesia (BI) khususnya melalui penurunan suku bunga acuan akan termarjinalisasikan.
Baca Juga
“Sehingga saya beranggapan untuk mengakomodisasi hal di atas dan mengurangi risiko perlu ada tambahan relaksasi likuiditas bagi perbankan. Bisa menurunkan kembali GWM, RIM, FFR, LDR ataupun relaksasi pajak bagi perbankan,” paparnya.
Dalam pemberitaan Bisnis sebelumnya, disebut bahwa perbankan dalam negeri diproyeksi mengalokasikan dana senilai Rp100 triliun untuk menyerap penerbitan obligasi pemerintah di pasar primer. Langkah itu sebagai bagian dari kerangka penyerapan obligasi untuk pembiayaan defisit dan akan mempengaruhi besaran imbal hasil.
Secara terpisah, Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia Ramdhan Ario Maruto menilai kebijakan itu akan meningkatkan likuiditas pasar. Menurutnya, langkah itu berpotensi menekan yield SUN Indonesia.
Berdasarkan data laman resmi asianbondsonline.adb.org, imbal hasil SUN tenor 10 tahun Indonesia menguat signifikan. Tercatat, yield SUN tenor 10 tahun Indonesia berada di level 7,85 persen sampai dengan penutupan perdagangan, Rabu (22/4/2020).
Sebelumnya, dalam virtual press briefing Rabu (22/4/2020), Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan data transaksi harian SBN dari 13 April 2020 hingga 20 April 2020 mencapai Rp4,37 triliun.
Perry menyebut angka itu menunjukkan kepercayaan terhadap Indonesia dalam hal investasi fixed income surat berharga negara (SBN) berangsur-angsur mengalami kenaikan. Pihaknya menyebut imbal hasil yang ditawarkan membuat SBN Indonesia menarik.
"Indikator spread yield antara oblogasi pemerintah Indonesia 10 tahun dengan US Treasury 7,1 persen atau 713 basis poin cukup menarik," jelasnya.