Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja emiten logam berpelat merah PT Timah Tbk. diprediksi semakin tertatih-tatih dan kembali akan sulit mencatatkan laba pada tahun ini. Kinerja jeblok dan utang yang menumpuk menjadi dua faktor PT Timah sulit meraih cuan tahun ini.
Analis OSO Sekuritas Sukarno Alatas mengatakan bahwa emiten berkode saham TINS itu mungkin akan kembali membukukan kinerja keuangan yang mengecewakan pada tahun ini. Tahun lalu, TINS menderita kerugian Rp611,28 miliar.
“Prospek kinerja TINS tahun ini sepertinya bisa jauh lebih buruk dibandingkan dengan tahun 2019, karena tren harga komoditas timah global juga sedang turun akibat diperparah sentimen penyebaran Covid-19 ini,” ujar Sukarno kepada Bisnis, Rabu (15/4/2020).
Berdasarkan data Bloomberg, harga timah di bursa London parkir di level US$15.457 per ton, terapresiasi 3,34 persen pada penutupan perdagangan Selasa (14/4/2020). Sepanjang tahun berjalan 2020, harga telah terkoreksi hingga 9,85 persen.
Harga timah global diprediksi masih berada di jalur bearish seiring dengan penurunan permintaan didorong ekonomi yang melemah akibat sentimen penyebaran sentimen Covid-19.
Senada, Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan mengatakan bahwa jika berkaca pada kinerja keuangannya tahun lalu, perseroan akan semakin sulit mencari laba dan rugi bersih pun bisa semakin membengkak.
Baca Juga
Padahal, dengan kenaikan pendapatan 2019 yang cukup impresif yaitu naik 75,2 persen menjadi Rp19,3 triliun dibandingkan dengan perolehan tahun sebelumnya sebesar Rp11,01 triliun, TINS seharusnya dapat membukukan bottom line yang juga impresif.
Namun, beban pokok penjualan ikut naik 82,7 persen menjadi Rp18,16 triliun dibandingkan dengan Rp9,94 triliun pada 2018. Dari beban pokok penjualan tersebut, terdapat beban yang naik signifikan yaitu jasa pihak ketiga naik 533 persen dari Rp435,4 miliar pada 2018, menjadi RP2,7 triliun.
Belum lagi dengan kondisi utang jangka pendek perseroan per 31 Desember 2019 sebesar Rp11,95 triliun, yang jauh lebih besar dibandingkan dengan utang jangka panjang, yaitu sebesar Rp3,14 triliun.
“Kalau berkaca dari struktur keuangan 2019, kinerja akan semakin berat. Di tengah beban keuangan yang meningkat juga jadi koreksi laba bisa semakin besar apalagi kalau volume penjualan akan terganggu dengan adanya Covid-19, volume penjualan yang impresif tahun lalu aja kinerja berubah negatif,” ujar Alfred saat dihubungi Bisnis, Rabu (15/4/2020).
Alfred pun menjelaskan TINS memiliki pekerjaan rumah yang besar, yaitu memperbesar pendanaan jangka panjang agar struktur keuangan menjadi lebih sehat salah satunya dengan ekuitas dan juga memindahkan utang jangka pendek itu ke liabilitas jangka panjang.
Namun, dengan kondisi penyebaran Covid-19 saat ini, tidak hanya korporasi saja yang berusaha mencari likuiditas lebih banyak, bahkan banyak negara juga yang mencari lebih banyak likuiditas sehingga langkah itu akan menjadi tantangan yang besar bagi TINS.
Di sisi lain, Alfred pun menilai TINS menjadi saham yang paling tidak menarik dibandingkan dengan saham BUMN tambang lainnya, yaitu PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM). Kinerja sahamnya pun mungkin juga akan terkoreksi imbas hasil kinerja 2019 yang mengecewakan.
Sementara itu, Sukarno menjelaskan tekanan jual saham TINS akan kembali meningkat sehingga harga akan kembali turun. Jika nantinya harga breakdown trendline support, lanjut dia, kenaikan dari beberapa minggu kemarin hanya sesaat atau teknikal rebound jadi belum sempurna untuk menjadi transisi bullish.
“Jika benar-benar breakdown support harga penurunan di Rp328 per saham,” ujar Sukarno.
Adapun, pada perdagangan Rabu (15/4/2020) TINS parkir di level Rp515 per saham, terkoreksi 3,74 persen atau 20 poin. Sepanjang tahun berjalan 2020, TINS telah terkoreksi 37,58 persen.