Bisnis.com,JAKARTA— Dua peramal terbaik mata uang negara berkembang Asia, Commerzbank AG dan Credit Agricole SA, memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang arah nilai tukar di kawasan tersebut.
Commerzbank AG, yang menduduki posisi pertama peringkat Bloomberg untuk peramal terbaik mata uang negara berkembang Asia, menyebut akan adanya keuntungan dari pelemahan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap nilai tukar rupiah, rupee India, dan won Korea Selatan. Sebaliknya, Credit Agricole SA mengatakan dolar AS siap menguat.
Analis Currency and Emerging-Market Commerzbank AG di Singapura Hao Zhou mengatakan masih menjaga prediksi untuk mata uang Asia yang disampaikan dari awal tahun. Pihaknya masih berharap adanya pemulihan kerugian yang disebabkan oleh COVID-19.
"Bagaimanapun, dolar AS telah kehilangan keuntungan hasil yang telah lama dipegangnya karena Federal Reserve telah menurunkan suku bunganya,” ujarnya seperti dilansir melalui Bloomberg, Kamis (9/4/2020).
Bloomberg mencatat penyebaran pandemik COVID-19 telah memukul negara berkembang. Pasalnya, investor mengalihkan uang mereka ke instrumen seperti dolar AS dan U.S Treasuries.
Adapun, The Bloomberg JPMorgan Asia Dollar Index, yang melacak 10 dari nilai tukar kawasan tidak termasuk yen, telah jatuh 3,6 persen sejak akhir Desember 2019 dan bulan lalu menyentuh level terendah sejak September 2004.
Penyebaran COVID-19 disebut tidak hanya menimbulkan kerugian besar terhadap aset berisiko. Ketidakpastian yang ditimbulkan membuat prediksi mata uang semakin sulit.
Kondisi itu harus ditambah lagi dengan perang harga di pasar minyak. Akibatnya, volatilitas mata uang emerging market berkembang ke level tertinggi sejak akhir 2011 sehingga menambah tantangan bagi para analis.
Kendati bergejolak, Commerzbank AG mengharapkan terjadi penguatan mata uang Asia. Penyebaran COVID-19 di Negeri Paman Sam membuat penguatan dolar AS menjadi terbatas.
Commerzbank AG memprediksi rupiah akan menguat ke level Rp14.900 per dolar AS pada akhir 2020. Sementara itu, rupee diperkirakan menuju level 73 rupee per dolar AS, dan won 1.190 per dolar AS.
Perusahaan berbasis Frankfurt itu juga merevisi naik prediksi yuan China menjadi 7,10 per dolar AS pada akhir tahun. Pemerintah setempat menjaga pergerakan nilai tukarnya dengan ketat seperti krisis yang terjadi sebelumnya.
“Jika yuan bisa stabil, kami tidak melihat depresiasi yang cepat untuk mata uang Asia lainnya,” ujar Zhou.
Di sisi lain, China Economist and Senior Emerging-Market Strategist Credit Agricole di Hongkong Dariusz Kowalczyk mengatakan mata uang Asia masih akan mengalami tekanan lebih lanjut akibat aksi jual. Pasalnya, masih terbuka dampak lebih lanjut dari penyebaran COVID-19 di kawasan tersebut.
"Kami merekomendasikan posisi dolar AS jangka panjang terhadap mata uang Asia secara umum, mengantisipasi dampak ekonomi dan pasar yang berkepanjangan dari virus dan mengambil pelajaran dari krisis keuangan global," jelasnya.