Bisnis.com, JAKARTA — Seluruh sektor mencatatkan kinerja negatif sepanjang kuartal pertama tahun ini. Di tengah tekanan, sektor barang konsumsi (consumer goods) mampu menjadi sektor yang paling minim koreksi.
Berdasarkan data PT Bursa Efek Indonesia, kinerja sektor consumer turun 19,17 persen sepanjang kuartal I/2020. Penurunan itu merupakan yang paling tipis dibandingkan sektor lainnya.
Di posisi kedua ada sektor perdagangan, jasa, dan investasi yang terkoreksi 21,77 year to date. Kemudian berturut-turut sektor pertambangan (23,54 persen), sektor finansial (26,94 persen), dan sektor infrastruktur, utilitas, dan transportasi (29,20 persen). Adapun sektor yang paling tertekan adalah sektor industri dasar dan kimia yang terkoreksi dalam hingga 40,68 persen.
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan cerminan kinerja sektoral sepanjang kuartal pertama ini memang relevan mengingat situasi mengarah ke krisis yang terjadi sekarang ini.
“Consumers goods as predicted, yaitu sektor yang paling defensif alias yang mampu bertahan saat resesi dan krisis tetapi tidak bisa grow tinggi juga saat ekonomi booming,” katanya kepada Bisnis, Rabu (1/4/2020).
Adapun untuk sektor industri dasar dan kimia yang menjadi sektor yang paling terkoreksi, Budi menyebut terhambatnya impor bahan baku, melonjaknya nilai tukar, dan logistik ekspor yang belum normal menjadi sentimen penekan.
Baca Juga
Senada, Kepala Riset Samuel Sekuritas, Suria Dharma mengatakan adanya pandemi corona dan imbauan untuk berkegiatan dari rumah menyebabkan konsumsi barang masyarakat meningkat, kemungkinan menjadi salah satu sentimen positif yang menyokong kinerja sektor consumer.
“Itu sepertinya yang membuat sektor consumer lebih positif walaupun kita belum tahu [bagaimana dampaknya] karena datanya [laporan keuangan] belum keluar, tapi itu sektor yang defensif dalam kondisi sekarang,” ujarnya.
Akan tetapi, Suria menilai kondisi ini tak bisa digeneralisasi dan dilihat secara sektoral saja melainkan harus dilihat kinerja masing-masing emiten penghuni sektor tersebut, karena hanya beberapa emiten saja mencatatkan kinerja positif.
Berdasarkan data Bloomberg, saham PT Siantar Top Tbk. (STTP) menjadi penopang untuk sektor barang konsumsi dengan kenaikan 44,44 persen sepanjang Q1/2020. Kemudian ada pula saham ITIC (40,38 persen) dan INAF (24,14 persen) dan KAEF (4,80 persen).
Kehadiran dua emiten farmasi pelat merah ini dinilai tak mengherankan karena keduanya memang memang produsen produk kesehatan serta obat dan vitamin yang kini banyak diburu oleh masyarakat.
Selain itu, Indofarma juga menjadi salah satu perusahaan yang bertanggung jawab akan alat kesehatan untuk penanganan Covid-19 di Indonesia seperti impor 100.000 paket rapid test dari China dan Korea.
Di sisi lain, emiten farmasi anggota LQ45, PT Kalbe Farma Tbk. (KLBF), malah masuk dalam kelompok yang menjadi penekan kinerja sektor. Saham KLBF tercatat anjlok 19,87 persen sepanjang Q1/2020.
Anggota lain LQ45 yang ikut jadi penekan sektor sepanjang kuartal pertama antara lain UNVR (13,96 persen), HMSP (32,14 persen), GGRM (22,45 persen), INDF (19,87 persen), dan ICBP (8,30 persen).
“Memang harus dilihat [fundamental] tiap emitennya. Ini UNVR malah turun tajam juga,” ujar Suria.
Kepala Riset PT Koneksi Kapital Alfred Nainggolan menyebut saat ini terjadi kondisi yang tak biasa, baik di Indonesia maupun di dunia, sebagai dampak dari pandemi corona. Kondisi ini juga membuat pola anomali terjadi di pasar. “Kami dari kalangan analis juga kesulitan untuk menggambarkan,” ujar Alfred.
Kuartal Kedua
Dia mengatakan untuk kuartal kedua tahun ini, kemungkinan besar akan berbeda dengan pola tahun sebelumnya. Salah satunya karena ada potensi pelaku pasar melewatkan momentum bulan Ramadhan dan Lebaran 2020.
Untuk banyak emiten, kata Alfred, periode Ramadhan dan Lebaran menjadi ladang emas karena merupakan puncak belanja masyarakat. Namun, jika pandemi ini masih berlangsung tentu tak bisa mengharapkan pola belanja masyarakat akan sama.
“Sudah pasti masyarakat akan mengerem belanjanya. Pertama karena kondisi [pola kegiatan yang berubah akibat pandemi]. Kedua, daya beli yang melemah terutama mereka yang [merupakan] pekerja sektor informal,” tuturnya.
Sementara itu, jika kondisi seperti saat ini masih berlangsung dalam menengah, beberapa subsektor diperkirakan akan mengalami penguatan kinerja pada kuartal kedua, antara lain telekomunikasi dan rumah sakit.
Alfred mengatakan telekomunikasi menjadi sektor yang terdampak langsung dengan perubahan pola kegiatan masyarakat yang lebih banyak diam di rumah karena konsumsi data internet otomatis meningkat.
“Kalau kita lihat beberapa minggu terakhir, [trafik data] telko lebih tinggi [dari biasanya] dan masih bisa lebih tinggi untuk beberapa minggu ke depan,” ujarnya.
Sektor lainnya, tambah dia, adalah rumah sakit karena pandemi ini membuat permintaan masyarakat akan pelayanan kesehatan meningkat. Sektor farmasi atau obat-obatan juga berpotensi masih naik dengan catatan masih memiliki bahan baku untuk produksi hingga pertengahan tahun mendatang.