Bisnis.com, JAKARTA – Dolar AS masih menguat di rekor tertingginya, seiring dengan kepanikan investor yang terus memburu aset cash sebagai antisipasi jika wabah corona atau Covid-19 tak kunjung usai.
Seperti dilansir dari Bloomberg, semua mata uang Group 10 terpantau melemah dengan kejatuhan terparah dialami oleh krone Norwegia. Pelemahan ini juga mendera aset aman tradisional seperti yen Jepang. Tercatat 1,4 persen likuiditas menguap karena investor mengejar margin call.
Tabel pergerakan mata uang G10 hingga Jumat (20/3/2020) siang
sumber: Bloomberg
Baca Juga
Portofolio Manager Nikko Asset Management Ltd. Chris Rands mengatakan pihaknya telah melakukan semua hal untuk bertahan karena tawaran untuk menjual semua aset di pasar saat ini semakin menggila.
“Kami coba terus bertahan dan melihat ini akan bergerak ke arah mana. Namun, saya tidak melihat tren ini akan mereda,” katanya seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (20/3/2020).
Perburuan dolar tak terbendung meski The Fed dan berbagai otoritas lain telah menyediakan likuiditas melalui swap, opsi pembelian kembali, serta pemangkasan suku bunga secara agresif.
Adapun seiring dengan meningkatnya jumlah kematian akibat kasus corona, semakin banyak negara yang melakukan lockdown. Ini tentunya semakin melemahkan perdagangan dan akan mengarah pada ancaman krisis arus kas perusahaan.
Di sisi lain, obligasi negara seperti Perancis, Italia, dan Yunani juga meroket setelah Bank Sentral Eropa mengumumkan stimulus besar-besaran sebagai upayanya menstabilkan ekonomi dan pasar Eropa.
Meskipun demikian, upaya tersebut ternyata tak mampu mendongkrak Euro yang tercatat masih mengalami pelemahan bahkan hingga 1 persen pada perdagangan Kamis (19/3/2020). Pelemahan yang sama juga dialami Indeks Stoxx 600.
Pada saat yang bersamaan, Bloomberg Dollar Spot Index terus menguat hingga 1,1 persen, menyentuh level tertinggi sejak 2004 silam.
Chief Market Strategist Axicorp Ltd. Stephen Innes mengatakan ini semua terjadi karena ada ketidaksesuaian di pasar, yakni permintaan terhadap dolar AS jauh lebih tinggi dibandingkan penawaran yang ada.
Dia juga menilai kebijakan dari pemerintah dan Bank Sentral AS saat ini terlihat tak berdaya melawan “super streamroller” pelemahan ekstrem di pasar ekuitas, obligasi, dan kredit.
Pergerakan indeks dolar AS per Jumat (20/3/2020) pukul 12.01 WIB
Sumber: Bloomberg
Pada perdagangan Jumat (20/3/2020) pukul 12.01 WIB, indeks dolar AS (DXY) turun 0,9 persen atau 0,928 poin menjadi 101,827. Sebelumnya, Kamis (19/3/2020) indeks dolar AS melonjak 1,58 persen menjadi 102,75.
DXY merupakan perbandingan greenback terhadap enam mata uang utama dunia. Besar bobot masing-masing mata uang ditentukan oleh Federal Reserve berdasarkan pengaruhnya terhadap perdagangan Amerika Serikat.
Bobot yang paling besar terhadap DXY adalah mata uang Euro (EUR) sebesar 57,6 persen, disusul yen (JPY) 13,6 persen, poundsterling (GBP) 11,9 persen, dolar Kanada 9,1 persen, krona Swedia 4,2 persen, dan franc Swiss 3,6 persen.
Upaya-upaya Intervensi
Aksi jual ini juga meningkatkan pembicaraan tentang intervensi terkoordinasi di pasar valuta asing. Tercatat, terakhir kali negara G7 melakukan intervensi mata uang adalah saat gempa Jepang yang terjadi 2011 silam.
Chris Turner dari ING mengatakan dalam waktu dekat kemungkinan besar pasar akan mulai mendengar adanya intervensi di pasar valuta asing, atau setidaknya sebuah upaya untuk menenangkan pasar yang bergejolak saat ini.
“Jika intervensi mata uang ini benar dilakukan, Gedung Putih akan jadi pihak yang paling senang,” ujarnya.
Sejauh ini, para pembuat kebijakan masih bekerja sendiri-sendiri meski dengan tujuan yang serupa yakni menyediakan likuiditas dolar dan menenangkan pasar obligasi.
Presiden Philadelphia Federal reserve Bank Patrick Harker mengatakan saat ini The Fed masih berdebat apakah mereka akan kembali melakukan intervensi pasar atau tidak.
Sejauh ini, Bank Sentral AS tersebut telah memangkas suku bunga acuannya sebanyak dua kali hingga ke level 0,25 persen dan menggelontorkan dana mencapai USS700 miliar untuk membeli surat utang mereka.
Sementara itu, Bank Sentral Jepang telah memutuskan untuk membeli 1 triliun yen atau sekitar US$9,2 miliar surat utangnya di luar jadwal yang biasa. Tak menutup kemungkinan Jepang akan membeli lebih banyak lagi ke depannya.
Tak ketinggalan, Bank Sentral Australia mengumumkan bahwa pihaknya akan membeli obligasi di luar kurva imbal hasil sebagai upaya menstabilkan pasar. Mereka menargetkan imbal hasil sekitar 0,25 persen untuk obligasi dengan tenor 3 tahun.
Adapun Bank Nasional Swiss melakukan intervensi mata uang lebih lanjut untuk membendung penguatan franc yang tercatat telah menguat hampir 3 persen terhadap euro sepanjang tahun berjalan.
Ekonom Shinhan Bank di Seoul, Min Gyeong-won mengatakan situasi ini tak pernah terjadi sebelumnya, di mana semakin banyak upaya yang dilakukan oleh Bank Sentral, malah semakin banyak pula dolar yang ditumpuk.
“Ekspektasi The Fed meleset, karena nyatanya pasar tidak mendengarkan. Dolar tetap menggila dan pelemahan mata uang Asia semakin berlanjut,” ujar Min.
Pasar negara berkembang menjadi pihak yang menanggung beban paling berat dari supremasi dolar ketika di waktu yang sama mereka berusaha mengatasi kegilaan nilai tukar dan anjloknya permintaan.
Baik pemerintah dan pelaku industri kini tengah mati-matian menahan biaya yang bengkak akibat utang dengan denominasi dolar, bank sentral negara-negara berkembang juga mesti bersiap untuk pemotongan suku bunga acuan lebih lanjut.
Opsi pemangkasan kembali suku bunga acuan menjadi layaknya dua sisi mata pisau, dapat mendukung pertumbuhan tetapi juga akan semakin mengacaukan mata uang mereka ke depannya.
Pada pekan ini pelemahan Turki, Korea Selatan, Chili, Vietnam, Sri Lanka, dan Pakistan terpantau mulai mereda dan diprediksi akan melanjutkan penguatannya dalam beberapa pekan ke depan.
Nasib berbeda dialami ruble Rusia dan peso Meksiko. Sejak 20 Januari 2020 atau saat tahap awal merebaknya virus corona di Asia, keduanya telah anjlok lebih dari 20 persen.
Chief Currency Strategist Sociate Generale SA Kit Juckes mengatakan duri terbesar dalam kebijakan yang diambil bank sentral negara berkembang adalah kurangnya likuiditas dan dolar di pasar.
“Itu membuat mata uang negara G10 diperdagangkan seperti mata uang negara berkembang dan terus menyokong kenaikan dolar dibandingkan fundamental lainnya,” kata Juckes.