Bisnis.com,JAKARTA— Pemangkasan suku bunga acuan bank sentral belum menarik minat investor asing dan justru mengerek imbal hasil (yield ) Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun.
Data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menunjukkan, total porsi kepemilikan asing dalam surat berharga negara (SBN) rupiah yang dapat diperdagangkan mencapai Rp975,37 triliun per 18 Maret 2020. Jumlah tersebut susut Rp86,49 triliun dan mencetak net sell dibandingkan dengan posisi 31 Desember 2019.
Secara detail, kepemilikan asing di surat utang negara (SUN) senilai Rp943,23 triliun per 10 Maret 2020. Adapun, kepemilikan asing dalam surat berharga syariah negara (SBSN) tercatat senilai menjadi Rp32,14 triliun hingga 18 Maret 2020.
Direktur Riset Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan pemangkasan suku bunga berdampak minim terhadap harga surat utang negara (SUN). Akibatnya, posisi yield SUN tenor 10 tahun akhirnya melewati 8 persen. Pada Kamis (19/3/2020), yield SUN tenor 10 persen ditutup level 8,06 persen.
NIco menilai kenaikan imbal hasil itu mencerminkan pemangkasan tingkat suku bunga sudah tidak lagi memberikan angin segar terhadap kenaikkan harga obligasi. Pasalnya, para pelaku pasar dan investor cenderung menjaga likuiditas jangka pendek di tengah situasi dan kondisi yang kian tidak menentu.
Dia menambahkan, masih sulit menarik minat investor masuk ke pasar SUN karena status Indonesia sebagai negara emerging market. Kondisi itu membuat Indonesia harus memberikan imbal hasil yang lebih tinggi.
“[Butuh] Gula yang lebih manis agar investor tetap dapat tertarik berinvestasi di obligasi Indonesia,” jelasnya kepada Bisnis, Kamis (19/3/2020).
Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana menjelaskan bahwa seharusnya dalam kondisi normal pemangkasan suku bunga akan menurunkan cost of fund semua asset class di suatu negara. Hal itu termasuk yield SUN.
Sayangnya, dia menyebut persepsi risiko investasi di Indonesia, yang tergambar dari level credit default swap (CDS), juga mencapai level tertinggi dalam beberapa waktu terakhir. Pada saat bersamaan, hal ini diartikan dengan peningkatan risk premium di Indonesia atau yield SUN.
“Pada kondisi normal, seharusnya permintaan SUN akan berasal dari daya tarik yield-nya. Namun, saat risiko meningkat sekarang mungkin yield SUN harus diatur ke level yang lebih tinggi,” paparnya.
Kendati demikian, langkah Bank Indonesia memangkas BI 7-Day Reverse Repo Rate (7DDR) 25 basis poin merupakan sinyal bank sentral yakin akan kondisi pasar Indonesia. Dampak penurunan pertumbuhan ekonomi di tengah situasi downside risk global saat ini relatif kecil.
“Namun, tampaknya pasar tidak puas sehingga rupiah kembali terdepresiasi serta yield SUN 10 tahun hampir menyentuh 8 persen hari ini,” pungkas Fikri.