Bisnis.com, JAKARTA — Pemilihan manajemen baru pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. dinilai dapat menjalankan tata kelola perusahaan yang lebih baik ke depannya.
Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan menilai penunjukan Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra yang berlatar belakang bukan dari industri penerbangan tidak menjadi masalah.
Menurutnya, posisi direktur utama lebih dituntut untuk melakukan tata kelola perusahaan dibandingkan dengan operasional perseroan.
“Untuk direktur keuangan dan direktur utama mayoritas bukan dari penerbangan background-nya karena yang paling krusial untuk itu ada pada direktur teknik dan direktur operasi, jadi menurut saya tidak terlalu masalah,” katanya kepada Bisnis, Rabu (22/1/2020).
Selain itu, masuknya Irfan menjadi orang nomor satu di emiten berkode saham GIAA tersebut pada saat ini lebih kepada pembenahan manajemen perseroan. Pasalnya, dari sisi operasional saat ini masih berjalan dengan baik.
Menurutnya, strategi manajemen lama masih dapat diterapkan pada kepemimpinan Irfan saat ini. Alfred menyebut manajemen baru hanya perlu menyempurnakan strategi lama.
Baca Juga
Deputi Menteri Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, Energi dan Telekomunikasi Kementerian BUMN Sahala Lumban Gaol (kiri) didampingi Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Fuad Rizal (kanan) saat konferensi pers hasil rapat umum pemegang saham, Rabu (22/1/2020). - Bisnis - Muhammad Ridwan
Manajemen lama GIAA mampu membawa GIAA meraih pendapatan senilai US$3,54 miliar sepanjang Januari 2019–September 2019. Catatan itu meningkat 9,97% dari catatan pada periode yang sama tahun lalu senilai US$3,22 miliar.
Sementara itu, GIAA melaporkan laba usaha senilai US$253,24 juta per September 2019, membalikan posisi rugi per September 2018 senilai US$70,81 juta.
“Jadi isunya tidak terlalu besar, selain isu-isu non fundamental jadi tidak ada sesuatu yang signifikan,” jelasnya.
Sementara itu, Janson Nasrial, Senior Vice President Royal Investium Sekuritas pergantian manajemen GIAA akan bermuara pada pembenahan good corporate governance (GCG).
Hal itu merupakan langkah konkret dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melakukan pembenahan pada perusahaan-perusahaan pelat merah.
“Kalau untuk strateginya masih sulit ditebak karena background-nya bukan dari industri penerbangan, tapi intinya akan berujung pada pembenahan tata kelola yang baik,” katanya kepada Bisnis, Rabu (22/1/2020).
Pasalnya, beberapa waktu lalu, GIAA sering tersandung masalah yang sering mencoreng tata kelola perusahaan yang kurang baik.
Adapun rentetan masalah yang menyandung perusahaan milik negara tersebut mulai dari pemolesan laporan keuangan, kisruh kerja sama manajemen, dan penyelundupan barang mewah.
“Jadi menurut saya tidak masalah dengan manajemen yang sekarang ini,” katanya.