Bisnis.com, JAKARTA - Rupiah ditutup terdepresiasi pada perdagangan Senin (2/12/2019) seiring dengan inflasi November yang dirilis lebih rendah daripada perkiraan pasar.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup di level Rp14.125 per dolar AS, melemah 0,12% atau 17 poin. Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang utama bergerak menguat 0,06% menjadi 98,33.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, inflasi Indonesia periode November dirilis lebih rendah dibandingkan dengan ekspektasi pasar, yaitu inflasi bulanan 0,14% sedangkan ekspektasi pasar di 0,2%. Selain itu, inflasi tahunan berada di level 3% dibandingkan dengan ekspektasi sebesar 3,065%.
Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa inflasi periode November tersebut memberi indikasi bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di bawah tekanan.
"Apalagi data penjualan ritel yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) ikut mengkonfirmasi lemahnya konsumsi masyarakat," ujar Ibrahim seperti dikutip dari keterangan resminya, Senin (2/12/2019).
Di sisi lain, data ekonomi China yang berhasil dirilis lebih baik daripada perkiraan tidak mampu membawa rupiah ke zona hijau. Padahal, data indeks PMI manufaktur China periode November yang dirilis di level 50,2 berhasil membawa aset berisiko lainnya menguat baik.
Baca Juga
Adapun, data indeks PMI China tersebut menjadi indeks pertama kali yang dirilis di atas level 50 sejak April lalu.
Ibrahim memprediksi pada perdagangan Selasa (3/12/2019) rupiah masih bergerak melemah akibat dorongan faktor eksternal yang cukup kuat, yaitu ketidakpastian kesepakatan perdagangan parsial antara AS dan China.
Hubungan dua negara tersebut kembali menegang setelah Presiden AS Donald Trump menandatangani RUU yang mendukung demonstran Hong Kong sehingga berpotensi menggagalkan realisasi kesepakatan parsial.
Rupiah diprediksi bergerak di kisaran Rp14.010 per dolar AS hingga Rp14.150 per dolar AS