Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produksi Logam Tanah Jarang China Naik, Rencana AS Terancam

Melonjaknya produksi logam tanah jarang (rare earth) di China menghadirkan tantangan baru bagi upaya di Amerika Serikat dan negara lain untuk melemahkan dominasi Negeri Tirai Bambu.
Sampel logam tanah jarang yang ditambang dari fasilitas Mountain Pass Rare Earth milik Molycorp di Mountain Pass, California, AS, Senin (29/6/2015)./Reuters-David Becker
Sampel logam tanah jarang yang ditambang dari fasilitas Mountain Pass Rare Earth milik Molycorp di Mountain Pass, California, AS, Senin (29/6/2015)./Reuters-David Becker

Bisnis.com, JAKARTA – Melonjaknya produksi logam tanah jarang (rare earth) di China menghadirkan tantangan baru bagi upaya AS dan negara lain untuk melemahkan dominasi Negeri Panda.

Raksasa Asia ini diketahui menghasilkan sekitar 70 persen logam tanah jarang yang ditambang serta mengendalikan 90 persen dari pasar global bahan baku tersebut yang banyak digunakan dalam magnet dan mesin smartphone hingga pesawat tempur.

Bulan ini, China menyatakan tengah meningkatkan kuota penambangan tahunan untuk logam tanah jarang menjadi 132.000 ton atau 10 persen di atas rekor tertinggi pada tahun lalu.

Langkah itu cenderung membebani harga global, dengan memberikan pukulan bagi para pesaingnya termasuk AS dan Australia, yang pada pekan lalu sepakat untuk bersama-sama mengakselerasi proyek-proyek baru dalam upaya diversifikasi rantai pasokan.

“Dengan AS dan China terkunci dalam pembicaraan perdagangan, ada kekhawatiran China dapat membatasi akses ke bahan baku itu,” ujar Ryan Castilloux, direktur pelaksana di Adamas Intelligence, seperti dilansir dari Bloomberg, Senin (25/11/2019).

Dia melanjutkan produksi komoditas tersebut justru meningkat sehingga dapat mendorong perusahaan di tempat lain ke dalam pengetatan likuiditas saat mereka berupaya berinvestasi dalam proyek-proyek baru.

Di AS, situasi itu tepat menyasar pada MP Material, yang menjalankan tambang logam tanah jarang yang beroperasi di California, AS. Perusahaan berharap untuk menggandakan produksinya menjadi lebih dari 30.000 ton tahun ini, atau sekitar 15 persen dari total global, menurut sumber Bloomberg.

Saat ini, produksinya dikirim ke China untuk diproses. Namun, CEO JHL Capital Group LLC James Litinsky menilai hal itu bisa berubah pada tahun depan.

JHL Capital Group merupakan pemilik mayoritas MP Material.

“Perusahaan sedang berupaya untuk membuka pusat pengolahan sendiri pada saat itu, yang seharusnya dapat menangani semua produksi tambang. Ini akan memungkinkan mereka untuk memasarkan bahan baku tersebut secara langsung ke pabrikan AS,” papar Litinsky.

Logam tanah jarang adalah 17 elemen yang terkait secara kimia yang memiliki sifat magnetik dan berpendar. Meski tidak selangka emas atau perak, unsur-unsur ini tidak sering ditemukan dalam volume besar dan membutuhkan pemrosesan intensif untuk menghasilkan bahan baku bagi pengguna akhir.

Sekitar 30 tahun lalu, Pemerintah China telah memutuskan untuk menjadikan logam tanah jarang bahan baku strategis dan melarang pihak asing menambangnya.

Pada Juli 2019, Presiden AS Donald Trump memerintahkan Departemen Pertahanan (Dephan) AS untuk memacu produksi sejumlah magnet logam tanah jarang yang digunakan dalam perangkat keras militer, di tengah kekhawatiran bahwa China dapat kapan saja membatasi ekspor produk itu.

Para ilmuwan Survei Geologi AS juga telah mengunjungi proyek-proyek di Australia pada tahun lalu, termasuk pengembangan Browns Range dari Northern Minerals Ltd.

Pada Agustus 2019, Lynas Corp. yang berbasis di Malaysia, pemasok terbesar logam tanah jarang di luar China, mengadakan diskusi dengan Dephan AS dan Badan Logistik Pertahanan. CEO Lynas Amanda Lacaze menuturkan bahwa perusahaan, dengan tambang di Australia dan pabrik pemrosesan utama di Malaysia Timur, sedang mengembangkan rencana untuk menambah fasilitas di Texas, AS.

Sementara itu, pertemuan bulan ini antara pejabat Pemerintah AS dan Australia telah meresmikan kemitraan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pasokan logam tanah jarang dan mineral penting lainnya dari luar China.

Menteri Sumber Daya Australia Matt Canavan menyampaikan lembaga keuangan ekspor di kedua negara itu akan mempertimbangkan langkah-langkah baru untuk membantu mempercepat proyek-proyek tambang.

Pengembang di sejumlah negara, mulai dari Greenland hingga India, juga telah berupaya membangun operasi baru tetapi mengalami progres lambat di tengah terbatasnya akses ke pendanaan dan fluktuasi harga.

"Ada kebutuhan nyata untuk mendanai proyek-proyek greenfield guna mendiversifikasi pasokan global. Saat ini, Lynas merupakan satu-satunya produsen utama di luar China,” ujar Dylan Kelly, analis di Ord Minnett Ltd.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper