Bisnis.com, JAKARTA -- Sejumlah analis menilai sentimen domestik bakal lebih memainkan peran dalam pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada awal pekan ini.
Kepala Riset Samuel Sekuritas Indonesia Suria Dharma menjelaskan sentimen domestik kini lebih dominan mempengaruhi pergerakan.
“Faktor luar sementara ini tidak berpengaruh. [Sentimen] Internal lebih dominan,” tuturnya kepada Bisnis, baru-baru ini.
IHSG terapresiasi 0,17 persen ke level 6.191 pada akhir perdagangan Jumat (18/10/2019). Selama sepekan lalu, indeks menghijau 1,41 persen sedangkan secara year-to-date (ytd) masih melemah 0,04 persen.
Dari eksternal, data Produk Domestik Bruto (PDB) China dirilis lebih rendah di bawah estimasi sebesar 6 persen secara year-on-year (yoy) pada kuartal III/2019. Capaian tersebut lebih rendah daripada PDB pada kuartal sebelumnya yang sebesar 6,2 persen, menjadikan pertumbuhan ekonomi kali ini terlemah sepanjang hampir tiga dekade.
Pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut pun menjadi perhatian para pelaku pasar global karena dampak perang dagang dengan Amerika Serikat bisa memicu terjadinya resesi global.
Baca Juga
Lebih lanjut, Suria melihat pelantikan presiden dan pengumuman kabinet bakal menunjukkan kestabilan politik yang bisa menjadi katalis positif bagi IHSG pada pekan ini.
“Dari kemarin-kemarin ada yang bilang demo mengganggu pelantikan ini. Tapi kalau berjalan lancar kan artinya bagus. Presiden juga akan mengumumkan susunan kabinet, yang kita tunggu apakah bagus,” ujarnya.
Menurut Suria, pelaku pasar bakal lebih senang dengan penempatan profesional di kabinet ketimbang politikus. Meski politikus tak berarti buruk, tapi pihak profesional dipandang relatif tidak memiliki konflik kepentingan.
Adapun pos kementerian yang dinilai krusial bagi pasar modal adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Investasi. Pasalnya, industri Indonesia masih kesulitan karena aliran investasi yang masih kurang.
Suria mengaku sulit untuk memperkirakan hingga berapa lama euforia kepastian dan kestabilan politik ini dapat menjadi sentimen pasar.
Namun, dirinya menilai pergerakan indeks bakal tetap menguat pada akhir tahun ini karena tren secara historis. Namun, investor tetap perlu waspada pada November 2019, karena diperkirakan tekanan terhadap indeks masih ada sebelum bisa rebound pada Desember.
Samuel Sekuritas pun telah menurunkan target IHSG pada akhir tahun ini, menjadi 6.600 dari sebelumnya 6.800. Penyesuaian ini mengingat pertumbuhan Earning per Share (EPS) emiten yang tidak begitu bagus pada paruh pertama.
Selain itu, tekanan terhadap emiten berkapitalisasi besar seperti cukai rokok juga telah memukul harga saham emiten rokok. Tak hanya itu, unjuk rasa yang terjadi beberapa pekan terakhir juga membuat indeks kian tertekan.
“Penurunan indeks itu terutama di tiga saham, yaitu PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP), PT Gudang Garam Tbk. (GGRM), dan PT Astra International Tbk. (ASII). Penurunan di 3 saham ini saja sudah 250 poin, jadi sebenarnya kalau turun harusnya sekarang sudah 6.400—6.500. Tapi karena ada demo itu, target jadinya lebih berat. Sekarang 6.400—6.600 lah, di luar faktor kinerja,” jelas Suria.
Terlalu Undervalue
Head of Investment Avrist Asset Management Farash Farich menambahkan selain dengan sentimen pelantikan presiden dan pengumuman kabinet nantinya IHSG tetap bisa rebound karena valuasi sudah terlalu murah.
“Tanpa sentimen pelantikan juga IHSG sudah undervalue. Sempat ke bawah 6.000, saat itu diskonnya sudah sekitar 15 persen dari valuasi wajarnya. Jadi, sebenarnya tetap menarik apapun yang terjadi,” ujarnya.
Investor domestik pun direkomendasikan untuk mulai melakukan akumulasi beli. Pasalnya, belajar dari pengalaman pada tahun lalu, ketika IHSG menyentuh level terendahnya pada Oktober dan hingga kini masih ada kenaikan 5,43 persen.
Farash mengakui menjelang akhir tahun nanti masih banyak yang dapat terjadi. Namun, pada akhir tahun, biasanya investor, baik lokal maupun asing, akan melakukan rebalancing portofolio.
Hal ini dinilai dapat menjadi penopang penguatan indeks karena investor asing berpotensi memindahkan asetnya dari negara yang valuasinya sudah terlalu mahal.
“Ada perpindahan, kalau yang investor asing kan ada perpindahan portofolio dari negara lain yang lagging. Indonesia sih menurut saya masih lagging,“ ucapnya.
Dalam mengelola portofolionya, Farash mengungkapkan saat ini, Avrist Asset Management cenderung mengoleksi saham-saham big caps yang sudah murah. Pembobotannya pun disesuaikan dengan IHSG, yaitu sektor perbankan yang masih overweight seperti PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI), dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), begitu pula saham rokok dan ASII.