Sejak terbitnya tiga peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait dengan obligasi daerah, belum ada satupun pemerintah daerah (pemda) yang menerbitkan obligasi.
Syarat yang harus dipenuhi oleh pemda dalam rangka menerbitkan obligasi daerah terlampir dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 56/2018, Peraturan OJK (POJK) No. 61/2019, 62/2019, No. 63/2019, serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 180/2019.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin menerangkan bahwa meski rencana penerbitan obligasi daerah santer digaungkan oleh kepala daerah seperti Gubernur Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, dia menekankan bahwa pinjaman daerah merupakan alternatif terakhir bagi daerah.
"Selama masih bisa memberdayakan sumber yang ada, pinjaman dan obligasi ini bukan prioritas," ujar Syarifuddin, Jumat (9/8/2019).
Hal ini ditambah dengan banyaknya opsi penarikan pinjaman daerah selain melalui obligasi daerah, sebut saja pinjaman daerah dari pemerintah pusat, pinjaman melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), dan pinjaman dari bank pembangunan daerah (BPD).
"Kalau bicara fakta di lapangan masih belum ada daerah yang memanfaatkan fasilitas ruang aturan bahwa daerah boleh terbitkan obligasi. Itu semua wacana sejak 2017," kata Syarifuddin.
Meski demikian, Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman mengatakan hingga saat ini baru Jawa Tengah yang paling terdepan dalam persiapan menerbitkan obligasi daerah.
Syarifuddin juga mengungkapkan bahwa Jawa Tengah saat ini sedang menunggu izin dan persetujuan dari DPRD sebelum proses ini berlanjut ke Kemendagri.
Jawa Barat dan DKI Jakarta juga disebut sedang merintis alternatif pembiayaan melalui obligasi daerah.
Adapun yang terbaru, Pemprov DKI Jakarta telah membentuk tim khusus penerbitan obligasi daerah melalui Kepgub No. 964/2019.
Perlu dicatat, syarat yang harus dipenuhi oleh pemda sebelum menerbitkan obligasi memang cukup banyak.
Sebelum pemda mengajukan penawaran obligasi daerah, pertama, jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak boleh melebihi 75% penerimaan APBD tahun sebelumnya.
Kedua, rasio kemampuan untuk mengembalikan pinjaman atau yang disebut debt to service coverage ratio (DSCR) paling sedikit sebesar 2,5%.
Terakhir, pemda tidak boleh memiliki tunggakan atas pengembalian pinjaman dari pemerintah pusat.
Setelah tiga syarat tersebut dipastikan bisa dipenuhi, pemda perlu mendapatkan persetujuan dari DPRD sebelum dapat memperoleh persetujuan dari dua institusi di pemerintahan pusat yakni Kemendagri dan Kemenkeu.
Obligasi daerah harus digunakan untuk membiayai infrastruktur atau investasi pembangunan sarana prasarana untuk kepentingan publik.
Investasi pembangunan sarana prasarana yang telah disebutkan pun pembangunannya tidak boleh melampaui masa akhir jabatan kepala daerah, kecuali apabila pembangunan tersebut termasuk dalam prioritas nasional.
Lebih lanjut, obligasi daerah hanya dapat diterbitkan di pasar domestik dan menggunakan rupiah.
Kemendagri dalam hal penerbitan obligasi daerah memiliki wewenang untuk melakukan penilaian atas kesesuaian kegiatan dengan dokumen perencanaan dan anggaran daerah, kesesuaian kegiatan daerah dengan prioritas nasional, serta sinkronisasi rencana pinjaman dengan pendanaan selain pinjaman.
Lalu, Kemenkeu juga memiliki wewenang untuk menilai kemampuan keuangan daerah, kebutuhan riil daerah, serta menentukan batas maksimal kumulatif dafisit APBD yang dibiayai dari pinjaman.
Semua ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.56/2018 tentang Pinjaman Daerah.
Adapun persyaratan yang cukup berat adalah yang tertuang dalam Peraturan OJK No. 62/2017 di mana dalam Pasal 27 huruf c disebutkan rencana kegiatan yang dibiayai obligasi daerah juga perlu memuat pendapatan dari kegiatan yang dibiayai oleh obligasi daerah tersebut.
Peneliti Center of Reform on Economics Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa daerah perlu perlu meningkatkan kualitas anggaran sebelum menerbitkan obligasi daerah.
Regulasi di tingkat daerah juga perlu berlaku secara jangka panjang dan tidak berubah-ubah seiring dengan pergantian kepala daerah dan anggota dewan.
Di satu sisi, regulasi yang ada terkait dengan penerbitan obligasi daerah memang membatasi ruang gerak pemda. Namun, di sisi lain hal ini juga mengompensasi risiko yang bisa muncul akibat perubahan regulasi oleh kepala daerah.
Meski demikian, tetap ada regulasi yang perlu direlaksasi. Salah satu kekurangan dari PP No. 56/2018 adalah perlunya persetujuan dari DPRD sebelum pemda dapat meneruskan prosedur penerbitan obligasi kepada Kemendagri dan Kemenkeu.
"Bagaimana jika DPRD mengalami deadlock karena dinamika politik? Ini perlu diperjelas apakah penerbitan akan tetap dilanjutkan atau ditunda," kata Yusuf, Minggu (11/8/2019).
Selain itu, pemerintah pusat juga harus berbagi beban dengan pemda dalam menanggung risiko pinjaman, terutama pada masa awal penerbitan.
Untuk diketahui, Pasal 32 dari PP No. 56/2018 menyebutkan bahwa daerah sepenuhnya menanggung risiko yang timbul akibat obligasi daerah yang diterbitkan.
Di lain pihak, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah seharusnya mensyaratkan predikat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) selama 5 tahun berturut-turut.
Adapun dalam PP No. 56/2018 sendiri dicantumkan bahwa syarat sebelum menerbitkan obligasi daerah adalah diraihnya WTP atau wajar dengan pengecualian (WDP) atas LKPD tahun sebelumnya.
"Kalau hanya setahun terlalu riskan, karena bisa saja di tahun berikutnya pemda tidak memperoleh kembali predikat tersebut dari BPK," kata Rusli.
Selain itu, obligasi daerah juga perlu digunakan untuk membangun aset yang memang memiliki nilai tertentu kepada masyarakat.
Selain untuk meningkatkan perolehan, hal ini juga berguna untuk meningkatkan pendalaman pasar keuangan.
"Dengan ini pemegang obligasi oleh masyarakat menjadi semakin banyak," kata Rusli.