Bisnis.com, JAKARTA – Perlambatan pertumbuhan ekonomi di China diperkirakan membebani ekspektasi permintaan batu bara termal di pasar terbesar dunia bahan bakar tersebut.
Sementara itu, gerakan global menuju energi yang lebih bersih juga kian menambah masalah bagi komoditas itu, karena terancam kelebihan pasokan. Sejumlah sumber industri di konferensi batu bara terbesar Asia, yang tengah berlangsung di Bali, mengatakan bahwa penawaran dan permintaan batu bara untuk pembangkit listrik dan industri semen kemungkinan berada dalam tekanan beberapa bulan mendatang.
Pekan lalu, harga acuan baru bara premium Australia Newcastle mencapai titik terlemah sejak September 2016, yaitu US$70,78 per ton, dan kemungkinan akan turun lebih lanjut karena perlambatan ekonomi global belum reda.
Analis Helen Lau dari Argonaut Hong Kong mengatakan bahwa tanda pelemahan permintaan batu bara di China terlihat dari aktivitas pabrik yang melemah pada April dan Mei, terhantam oleh kerasnya perang dagang dengan Amerika Serikat. Hal itu menyumbang penurunan permintaan 4,9% dalam pembangkit listrik tenaga batu bara China pada Mei dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
“[Selain itu] lemahnya konsumsi batu bara termal terutama karena meningkatnya persaingan dari hidro dan energi bersih lainnya,” kata Lau dalam sebuah laporan dikutip dari Reuters, Senin (24/6/2019).
Menurut penerbit McCloskey harga batu bara di pelabuhan Qinhuang China jatuh menjadi US$95,53 per ton pada 10 Juni lalu. Jumlah itu terendah dalam 2 tahun terakhir.
Baca Juga
“Batu bara termal berada di bawah tekanan pada saat ini, meskipun permintaan terus meningkat selama musim panas,” kata seorang trader batu bara di pelabuhan Jingtang, China.
Jingtang merupakan pelabuhan penerima batu bara utama di China utara. Trader itu pun mengaku tidak dapat memperoleh keuntungan dengan harga batu bara saat ini. “Jadi saya mengalihkan bisnis saya dan melakukan [diversifikasi] produk khusus seperti bubuk batu bara,” katanya.
Seorang trader di Singapura mengatakan, pelemahan harga batu bara terjadi karena meluasnya penggunaan gas alam di Eropa. “Gas murah dari Amerika Serikat sedang bergerak ke Eropa dan hal itu mendorong batu bara Afrika Selatan dan Kolombia menyeberang ke Asia. Rusia juga telah meningkatkan penjualannya di lembah Pasifik,” katanya.
Commonwealth Bank of Australia (CBA) melaporkan, penggunaan pembangkit listrik tenaga angin China tumbuh 5,6% dalam 5 bulan pertama tahun ini, pembangkit listrik tenaga air tumbuh 12,8%, sedangkan batu bara dan gas alam cair hanya tumbuh 0,2%.
Analis CBA Vivek Dhar mengatakan bahwa periode pelemahan harga batu bara termal yang berkepanjangan, dapat menandai bahwa ekonomi global mengalami dekarbonisasi. “Yaitu beralih dari bahan bakar berbasis karbon ke energi terbarukan seperti tenaga surya dan angit, pada tingkat yang lebih cepat dari yang diperkirakan,” katanya.
Dia menambahkan, situasi ini kemungkinan merugikan produsen utama batu bara dunia, Australia karena negara-negara maju, yang mampu membayar lebih banyak untuk konsumsi energi, justru menghasilkan dekarbonisasi dengan laju tercepat.
Jerman, misalnya, sudah memperoleh 40% pembangkit listriknya dari energi terbarukan. Negara ini pun telah menetapkan target 65% pada 2030. Sementara Inggris menetapkan tahun ini untuk menggunakan lebih banyak listrik dari sumber nol-karbon dibandingkan dari pembangkit bahan bakar fosil untuk pertama kalinya.
Menurut agen penetapan harga komoditas S&P Global Platts, harga batu bara Newcastle 6.000-kilokalori, telah merosot sekitar 58% sejak September, dibandingkan dengan penurunan yang lebih moderat sebesar 20% untuk nilai 5.500-kilokalori, yang terakhir diperdagangkan pada US$51 per ton,
"Saya pikir orang Australia akan merasakannya [pelemahan harga batu bara]," kata trader energi di Singapura.