Bisnis.com, JAKARTA - Laju pergerakan bijih besi semakin terlihat bullish dan diproyeksi segera menembus US$100 per ton seiring dengan mengetatnya persedian bijih besi di pelabuhan China dan tidak dapat mengimbangi meningkatnya permintaan.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Kamis (16/5/2019) pukul 14.55 WIB, harga bijih besi untuk kontrak teraktif di bursa Singapura melanjutkan reli penguatannya, dengan menguat 2,46% menjadi US$94,61 per ton. Secara year to date menguat 38,15%.
Sementara itu, harga bijih besi di bursa Dalian menguat 3,31% menjadi 671 yuan per ton, telah melonjak sebesar 40,24% sepanjang tahun berjalan. Harga bijih besi tetap bergerak menguat meski mayoritas komoditas lain tertekan akibat kekhawatiran pasar terkait dengan perang perdagangan AS dan China akan membebani permintaan.
Analis Huatai Futures Co Sarah Zhao mengatakan bahwa bijih besi telah melakukan reli yang cukup kuat sepanjang 2019 karena gangguan pasokan di Brazil dan Australia, sebagai negara pengirim bijih besi utama.
Gangguan pasokan dari kedua negara tersebut mendukung ekspetasi pasar bahwa bijih besi global akan mengalami defisit pasokan. Namun pada saat yang sama, pabrik China justru mengalami tren produksi baja dalam jumlah yang besar.
"Karena pengiriman dari Brazil jatuh di tengah pengeluaran pabrik yang stabil, berjangka bijih besi tetap bergerak naik. Investor harus memperhatikan setiap penurunan harga dan kemudian membeli ke dalam kontrak" ujar Sarah seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (16/5/2019).
Baca Juga
Berdasarkan riset First NZ Capital Securities, harga bijih besi akan memuncak hingga US$110 per ton pada kuartal berikutnya. Hal tersebut akan terjadi ketika stok pelabuhan China akan mulai kehabisan persediaan yang tersedia.