Bisnis.com, JAKARTA — Setelah sempat terkoreksi pada kuartal I/2019, kinerja laba bersih sejumlah emiten Badan Usaha Milik Negara dan entitas anak diproyeksikan kembali memantul didorong sejumlah faktor eksternal.
Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis.com, 12 emiten dari induk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan entitas anak membukukan penurunan laba bersih pada kuartal I/2019. Rerata penurunan yang dibukukan mencapai dua digit.
Sebagai gambaran, PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk. membukukan penurunan laba bersih 59,05% secara tahunan pada kuartal I/2019. Capaian entitas anak PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. itu berbanding terbalik dengan sang induk yang justru membalikkan posisi kerugian menjadi untung US$20,48 juta per akhir Maret 2019.
Di sektor konstruksi, PT Waskita Karya (Persero) Tbk. juga membukukan penurunan laba bersih 52,89% pada kuartal I/2019. Keuntungan bersih yang dikantongi kontraktor pelat merah itu turun dari Rp1,52 triliun pada kuartal I/2018 menjadi Rp716,24 miliar pada kuartal I/2019.
Tidak hanya itu, penurunan laba bersih juga dialami emiten anggota Holding Industri BUMN Pertambangan, PT Bukit Asam Tbk. Produsen batu bara membukukan penurunan laba bersih 21,63% secara tahunan pada kuartal I/2019.
Sebagai catatan, saat ini terdapat 16 emiten yang berstatus Persero Tbk. atau induk usaha BUMN di Bursa Efek Indonesia (BEI). Selanjutnya, terdapat 17 emiten lainnya berstatus anak usaha pelat merah atau yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN.
Baca Juga
Pencapaian sejumlah emiten pada 3 bulan pertama 2019 berbanding terbalik dengan kuartal I/2018. Pasalnya, pada periode itu, beberapa emiten yang membukukan penurunan laba bersih justru mencatat pertumbuhan bahkan hingga tiga digit.
Frederik Rasali, Vice President Research Artha Sekuritas menjelaskan bahwa kinerja BUMN konstruksi cukup tertekan pada kuartal I/2019. Kondisi itu, menurutnya, akibat melambatnya pertumbuhan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) di bidang pembangunan infrastruktur.
Selain faktor itu, lanjut dia, perseroan dengan rasio debt to equity (DER) rendah justru dapat membukukan pertumbuhan laba bersih di atas dua digit. Pihaknya mencontohkan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. dengan DER 0,58 kali dan PTPP dengan DER 1,07 kali.
Sebaliknya, emiten konstruksi seperti WSKT memiliki DER mencapai 3,81 kali. Akibatnya, beban keuangan dapat membebani kinerja perseroan. Kendati demikian, dia menilai prospek emiten konstruksi pada tahun ini masih baik. Hal itu sejalan dengan pembangunan infrastruktur masih dibutuhkan.
“Hanya saja dengan melambatnya APBN di bidang tersebut, maka investor sebaiknya lebih berfokus pada perusahaan yang memiliki balance sheet cukup sehat dan memiliki order book proyek infrastruktur yang lebih baik seperti WIKA dan PTPP,” ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (6/5/2019).
Sementara itu, Frederik menyebut sektor perbankan pelat merah masih tumbuh karena pertumbuhan kredit yang cukup signifikan pada kuartal I/2019. Akan tetapi, secara rata-rata net interest margin (NIM) pada kuartal I/2019 mengalami tekanan akibat likuiditas yang cukup ketat tercermin dari loan to deposit ratio (LDR) pada level 93%. “Fokus kami kepada bank yang memiliki LDR terendah dari empat bank BUMN yakni BBNI dan BBRI,” jelasnya.
Adapun, dia menilai sektor batu bara masih mengalami tekanan dari penurunan harga dan lemahnya permintaan. Akibatnya, penjualan perseroan batu bara secara umum turun pada kuartal I/2019 dan kondisi itu akan berlangsung selama permintaan masih lemah secara global.
Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Capital menilai dari 11 emiten anak usaha BUMN yang telah menyampaikan kinerja keuangan, capaian superior ditunjukkan oleh IPCC dengan 28,3%. Posisi selanjutnya diikuti oleh PPRE dengan 27,7%, dan WTON dengan 22,8%. “Pencapaian di kuartal I/2019 konsisten denga pencapaian periode full year 2018," jelasnya.
Dari sisi induk, dia menilai realisasi WSKT masih sejalan dengan ekspektasi pasar meski penurunannya cukup dalam. Laba bersih kontraktor pelat merah itu pada kuartal I/2019 sama dengan 21% konsensus pasar.
Sementara itu, pihaknya memprediksi PTBA relatif berat untuk bisa mencatatkan kinerja pertumbuhan seperti periode penuh 2018. Pasalnya, kenaikan pendapatan 2019 hanya akan berasal dari pertumbuhan volume.
Alfred menjadi saham BMRI, WSKT, dan TLKM sebagai top picks dari sektor emiten induk usaha BUMN. Untuk emiten anak BUMN, IPCC dan PPRE menjadi top picks.
Di lain pihak, Janson Nasrial, Senior Vice President Royal Investium Sekuritas menilai emiten BUMN sektor perbankan masih mencatatkan kinerja yang baik. Earning per share (EPS) growth di sektor itu rerata tumbuh 10% hingga 12%.
Adapun, Janson menyebut realisasi kinerja sektor konstruksi, komoditas, dan pertambangan cenderung mixed. Selanjutnya, sektor penerbangan dan semen cenderung mengalami penurunan.
Pada kuartal II/2019, dia memprediksi sektor batu bara akan mulai menggeliat. Apalagi, tanda-tanda perekonomian China sudah menunjukkan sinyal positif. “Ini tercermin dari purchasing managers index [PMI] China dan gross domestic product [GDP] growth kuartal I/2019 yang melebihi ekspektasi. Dengan demikian, pertambangan should be doing well in kuartal II/2019 demikian halnya sektor konstruksi,” tuturnya.
Saham-saham yang menjadi top picks yakni WSKT dengan target harga (TP) Rp2.200, BBNI dengan TP Rp9.800, BMRI dengan TP Rp8.500, dan BBRI dengan TP Rp4.900.
Secara terpisah, Direktur Keuangan PT Jasa Marga (Persero) Tbk. Donny Arsal mengatakan sejumlah ruas baru akan menopang pertumbuhan pendapatan perseroan ke depan. Pihaknya optimistis mampu membukukan pertumbuhan earning before interest, taxes, depreciation, and amortization (EBITDA) di atas 10%.
Sebelumnya, Manajemen Waskita Karya juga menyatakan optimistis mencapai target kinerja 2019 meski terjadi penurun per Maret 2019. Perseroan membidik pendapatan Rp54,13 triliun dan laba bersih Rp4,1 triliun tahun ini.