Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

ADRO Sebut Bisnis Batu Bara Masih Menantang Tahun Ini

PT Adaro Energy Tbk. memperkirakan EBITDA perusahaan tak lebih dari US$1,2 miliar pada 2019 sejalan dengan masih banyaknya tantangan yang dihadapi industri batu bara.
Aktivitas di area pertambangan batu bara PT Adaro Indonesia, di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, Selasa (17/10)./JIBI-Nurul Hidayat
Aktivitas di area pertambangan batu bara PT Adaro Indonesia, di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, Selasa (17/10)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — PT Adaro Energy Tbk. memperkirakan kinerja keuangan tahun ini masih akan menghadapi sejumlah tantangan, termasuk dari tren penurunan harga batu bara. 

Harga batu bara sempat naik pada awal 2018, tapi kemudian melemah kembali pada akhir tahun lalu. Harga Batubara Acuan (HBA) April 2019 ditetapkan sebesar US$88,85 per ton, lebih rendah dari HBA bulan sebelumnya yang masih senilai US$90,57 per ton. 

Hal tersebut turut dipengaruhi oleh pergerakan pasar komoditas energi global.
 
Presiden Direktur Adaro Energy (ADRO) Garibaldi Thohir menyebutkan perseroan menggunakan capaian EBITDA operasional untuk mengukur kinerja, yang tahun lalu terjaga di level US$1,4 miliar. Namun, EBITDA perseroan diprediksi hanya berada kisaran US$1 miliar—US$1,2 miliar pada 2019. 

“Analisis kami, masih kurang kondusif dan menantang. Kami akan fokus melakukan efisiensi di sana-sini. Masih banyak hal yang kecil-kecil memang, tapi itu berarti,” jelasnya usai Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) di Jakarta, Selasa (30/4/2019).
 
Selain menekan beban biaya, ADRO masih bertumpu pada permintaan batu bara yang kuat di kawasan Asia Tenggara.  Perseroan meyakini pertumbuhan di kawasan ini masih menjadi yang terbaik dibandingkan Asia Timur, Eropa, Amerika.

Batu bara, tambahnya, masih merupakan sumber energi yang paling murah dan efisien. Apalagi, dengan adanya perkembangan teknologi batu bara yang ramah lingkungan. 

Berdasarkan laporan keuangan yang tidak diaudit, laba inti ADRO tercatat sebesar US$166 juta pada kuartal I/2019 atau naik 52 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yang sekitar US$109 juta.

Produksi juga tumbuh 26 persen menjadi 13,74 juta ton. Adapun penjualannya meningkat 22 persen secara tahunan menjadi 13,31 juta ton. 

Namun, beban pokok pendapatan tumbuh 8 persen secara year-on-year (yoy) menjadi US$582 juta, yang utamanya disebabkan kenaikan volume pengupasan lapisan penutup dan produksi, harga BBM, serta pembayaran royalti kepada Pemerintah Indonesia sejalan dengan naiknya pendapatan usaha. Beban usaha turut meningkat 26 persne menjadi US$68 juta, terutama karena bertambahnya komisi penjualan dan biaya karyawan.

Adapun royalti yang dibayarkan kepada pemerintah naik 16 persen menjadi US$92 juta. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Annisa Margrit
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper