Bisnis.com, JAKARTA—Sejumlah saham di Bursa Efek Indonesia masih cukup terdiskon harganya hingga awal April tahun ini yang berpeluang menjadi sasaran investasi investor, terutama yang berhorizon investasi jangka panjang.
Hingga Jumat (12/4/2019) pekan lalu, price to earning (PER) rata-rata tertimbang (weighted average/ WA) dari IHSG berada di level 17,8 kali, sedikit turun dibandingkan posisi akhir 2018 lalu yang sebesar 19,4 kali.
Secara umum, PER IHSG menjadi acuan bagi emiten. Semakin lebih tinggi PER emiten dibandingkan PER pasar, maka semakin mahal saham yang bersangkutan. Demikian pun sebaliknya. PER di bawah 10 kali umumnya menjadi indikator adanya diskon harga yang cukup besar.
Berdasarkan data Bloomberg, per Kamis (11/4/2019), masih ada 134 emiten yang harga sahamnya cukup terdiskon berdasarkan indikator PER. Jumlah tersebut setara 21% dari total 632 emiten dalam IHSG.
Mayoritas dari saham-saham tersebut merupakan saham-saham berkapitalisasi pasar kecil di bawah Rp1 triliun dan cenderung kurang likuid karena free float yang terbatas.
Namun, 22 emiten di antaranya merupakan emiten dengan kapitalisasi pasar di atas Rp10 triliun. Selain itu, Bisnis mencatat ada 26 emiten dengan kapitalisasi pasar antara Rp1 triliun hingga Rp9,9 triliun yang masih tergolong likuid, tetapi memiliki nilai PER di bawah 10 kali.
Beberapa di antara emiten-emiten tersebut sudah mengalami lonjakan harga yang cukup tinggi sepanang tahun berjalan, seperti WEGE (77%), BULL (49%) atau BMTR (45%), tetapi PER-nya masih tetap rendah.
Kendati demikian, ada juga beberapa emiten yang harganya sudah turun bayak pada awal tahun ini, sehingga harganya menjadi relatif rendah bila dibandingkan kinerja labanya. Contohnya, INKP (-30%), LPPF (-31%), dan ERAA (-26%).
Janson Nasrial, Senior Vice President Royal Investium Sekuritas, mengatakan bahwa PER yang rendah pada awal tahun ini tampaknya lebih disebabkan oleh sentimen kinerja keuangan atau operasional emien.
Sentimen keuangan tersebut antara lain besarnya tingkat leverage atau debt to ebitda ratio yang lebih tinggi dibandingkan emiten lain di satu sektor. Dirinya mencontohkan MAIN, yang leveragenya yang sudah lebih tinggi dari CPIN, pesaingnya.
Selain itu, faktor lainnya yakni realisasi laba yang kurang memuaskan, atau prospek usaha yang masih kurang begitu menjanjikan. Faktor ini antara lain dialami emiten-emiten di sektor properti.
Janson mengatakan, tidak semua emiten dengan PER yang murah dapat dianggap sudah layak beli. Investor tetap harus memperhatian indikator lain.
“Tidak hanya PER yang rendah, tetapi dilihat juga apakah ROE [return on equity] dan ROA [return on assets]-nya sudah mulai improving atau belum,” katanya, Jumat (12/4/2019).
Janson menilai, beberapa emiten yang cukup layak untuk dikoleksi di antaranya yakni MAIN, INKP dan PTPP. Menurutnya, MAIN masih cukup prospektif, meskipun tingkat leverage-nya tinggi.
Pasalnya, industri unggas masih menjanjikan dan masih rendahnya tingkat konsumsi ayam per kapita di Indonesia dibandingkan negara-negara Asean. Mendekati bulan Ramadan, permintaan terhadap daging ayam akan cenderung meningkat.
Sementara itu, INKP masih mengalami pertumbuhan ROE yang positif. Bisnis pulp dan kertas pun masih cukup bagus tahun ini. PTPP akan sangat prospektif bila petahana berhasil terpilih kembali dalam pemilu tahun ini.