Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah proyek infrastruktur yang didapatkan dan masih dalam negosiasi kontrak bakal menjadi tumpuan untuk kinerja PT Acset Indonusa Tbk. pada 2019.
Presiden Direktur Acset Indonusa Jeffrey Gunadi Chandrawijaya mengatakan bahwa target kontrak senilai Rp15 triliun pada 2019 akan dikontribusikan paling banyak atas pengerjaan proyek infrastruktur.
Dia mengatakan bahwa emiten berkode saham ACST tersebut hanya akan mengejar kontrak yang sesuai dengan kemampuan yang dapat dilakukan perseroan untuk mengerjakan suatu proyek.
Hal tersebut sebagai mitigasi risiko kegagalan pengerjaan proyek yang dapat menimbulkan kerugian lebih besar dibandingkan nilai kontrak yang diraih oleh perseroan.
Adapun, pada tahun ini, Jeffrey menjelaskan bahwa kebanyakan kontrak yang didapat dan yang akan diikuti tendernya oleh perseroan merupakan kontrak-kontrak yang mundur dari 2018.
Pada kuartal I/2019, Jeffrey mengungkapkan bahwa nilai kontrak yang didapatkan perseroan masih belum terlalu besar.
“Yang kami targetkan masih belum mulai tendernya, sehingga yang kami dapat kemarin merupakan sebagian kecil dari keseluruhan,” ujarnya di Jakarta, Rabu (10/4/2019).
Adapun, emiten berkode saham ACST itu sedang mengincar untuk pengerjaan proyek jalan tol layang Cikunir—Ulujami. Tol tersebut akan diprakarsai oleh konsorsium PT Nusantara Infrastructure Tbk. (META), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Acset Indonusa Tbk (ACST), dan PT Triputra Utama Selaras. Jalan tol yang masuk dalam jaringan Jakarta Outer Ring Road III diperkirakan akan menelan investasi Rp 22,5 triliun.
Sebagai salah satu strategi, Jeffrey menyebut perseroan masuk sebagai investor dengan kepemilikan saham minoritas. Hal itu menjadi strategi perseroan untuk mendapatkan kesempatan lebih dari sisi kontraktor.
“Elevated tol kami lebih suka, karena tidak ada masalah pembebasan lahan dan secara konstruksi lebih besar nilainya,” katanya.
Selain proyek jalan tol, ACST sedang mengincar kontrak untuk pengerjaan proyek pembangkit listrik. Jeffrey menilai proyek pembangunan pembangkit listrik masih sangat potensial.
Pada tahun ini, kata Jeffrey, perseroan sedang membidik satu tender untuk pengerjaan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
“Powerplant masih tender, biasanya pasti nilainya diatas Rp1 triliun, kalau sipil [konstruksi] itu biasanya [porsinya] bisa 30%—40%, karena sisanya mesin,” jelasnya.
Untuk pengerjaan PLTU, lanjut Jeffrey menjelaskan, ACST telah mengerjakan proyek supporting di PLTU Jawa I. Meskipun belum berkontribusi besar, menurutnya kontrak tersebut merupakan kontrak jangka panjang.
Selain itu, pengerjaan proyek tersebut sebagai salah satu langkah penjajakan ACST dalam pengerjaan proyek-proyek pembangkit listrik.
“Karena kita percaya masih banyak proyek powerplant yang akan dibangun.”
Dari sisi pendanaan, ACST memiliki sejumlah mitra finansial yang bersedia menyediakan sumber pendanaan untuk berbagai proyek yang dikerjakan perseroan.
Dari sumber tersebut, perseroan mengantongi dana cadangan sebesar lebih dari Rp5 triliun.
“Sekarang sama beberapa bank kalau target kontraknya Rp15 triliun, jadi kita butuh pendanaan yang lebih besar,” pungkasnya.
Pada 2019, ACST menganggarkan belanja modal senilai Rp140 miliar, lebih kecil dibandingkan belanja modal tahun sebelumnya yakni Rp270 miliar. Dana tersebut akan digunakan perseroan untuk modal pembelian alat untuk pengerjaan sejumlah proyek.
Di lain pihak, Kepala Riset Narada Asset Management Kiswoyo Adi Joe mengatakan bahwa proyek infrastuktur dinilai masih potensial, akan tetapi proyek infrastruktur tidak memberikan margin profit yang tidak terlalu tebal.
Namun dengan adanya sejumlah kontrak yang tertunda pada 2018, hal tersebut berpotensi untuk mempertebal raihan kontrak dan pendapatan ACST pada 2019. Adapun, total pendapatan ACST yang berhasil dikantongi pada 2018 yakni Rp3,7 triliun.
“Tahun ini net profitnya diperkirakan bisa loncat, kalau dilihat historisnya, ACST seperti itu,” ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (10/4/2019).
Untuk sisi pendanaan, sebagai salah satu entitas usaha dari konglomerasi Astra International menjadi nilai tambah untuk ACST mendapatkan sumber pendanaan melalui perbankan.
Dengan demikian, dari sisi fundamental keuangan, ACST dinilai tidak memiliki permasalahan akan hal tersebut.
“Induknya United Tractors bisa menyokong atau bahkan Astranya,” jelasnya.
Kiswoyo menilai saham ACST layak untuk dibeli, karena dibandingkan dengan emiten konstruksi lainnya, harga saham ACST masih terbilang murah dan memiliki fundamental yang baik.
“Ada potensi naik 30% kalau dilihat dari harga sahamnya, dengan target harga Rp2.000,” pungkasnya.