Bisnis.com, JAKARTA—Absennya sektor perbankan dalam konstituen Jakarta Islamic Index atau JII menjadi faktor utama sulitnya indeks ini mengungguli kinerja IHSG tahun ini dan cenderung menampilkan performa terendah dibandingkan indeks lainnya.
Hingga Selasa (9/4/2019), kinerja JII tercatat sebesar 3,46% ytd, underperform terhadap IHSG yang tumbuh 4,68%. Meskipun masih tumbuh positif, tetapi kinerja indeks ini merupakan salah satu yang terendah tahun ini.
Tahun lalu, di saat IHSG turun -2,54% yoy, indeks ini turun lebih dalam lagi, yakni -9,73% yoy, atau hanya lebih baik dibandingkan indeks SMinfra18 yang turun hingga -17,40% yoy.
Sepanjang tahun ini, penggerak utama JII yakni saham BRPT yang tumbuh 55,65% ytd dan berkontribusi 31,55% terhadap pergerakan JII. Sementara itu, penekan utamanya yakni saham ASII yang turun -6,38% ytd dan berkontribusi 27,42% terhadap penurunan indeks ini.
Tiga saham yang naik paling tinggi pada JII tahun ini yakni BRPT (55,65% ytd), SMRA (45,34% ytd) dan JSMR (44,28% ytd), sedangkan tiga saham yang turun paling dalam yakni LPPF (-30,89% ytd), INDF (-12,08% ytd), dan TPIA (-11,39% ytd).
Janson Nasrial, Senior Vice President Royal Investium Sekuritas, mengatakan bahwa karakter indeks syariah yang tidak membolehkan adanya saham perbankan konvensional menjadi faktor utama yang menyulitkan indeks ini untuk bisa mengungguli IHSG.
Kinerja yang terbatas tidak saja dibukukan oleh JII, tetapi juga dua indeks syariah lainnya, seperti JII70 dan Indonesia Sharia Stock Index (ISSI). Faktornya sama, yakni tidak adanya saham bank.
Kedua indeks ini sepanjang tahun ini tumbuh masing-masing 3,68% ytd dan 3,58% ytd atau lebih rendah dari IHSG (4,68%). Tahun lalu, kinerja kedua indeks ini masing-masing JII70 -7,75% yoy dan ISSI -3,09% yoy, juga lebih dalam dari penurunan IHSG (-2,54% yoy).
Janson mengatakan, sektor perbankan merupakan sektor dengan pertumbuhan laba yang paling konsisten dalam 4 tahun terakhir, meskipun di tengah pertumbuhan ekonomi yang tumbuh flat.
“Selama tidak ada komponen banking, sulit JII untuk bisa outperform terhadap IHSG. Sulit untuk indeks manapun yang tidak ada komponen banking. Harus ada banking [untuk bisa saingi IHSG],” katanya, Selasa (9/4/2019).
Hal ini cukup beralasan. Sepanjang tahun ini, kinerja indeks sektor finansial merupakan yang tertinggi di antara indeks sektoral lainnya, yakni 9,89% ytd. Sebanyak 4 dari 10 saham berkapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia pun berasal dari sektor perbankan ini.
Janson mengatakan, sektor yang dapat diandalkan untuk meningkatkan performa JII tahun ini antara lain otomotif (ASII), infrastruktur (JSMR), konstruksi (PTPP, WIKA, WSBP), barang konsumsi cepat habis (ICBP, UNVR) dan telekomunikasi (EXCL, TLKM).
Hanya saja, indeks ini mendapatkan tekanan karena kinerja ASII yang masih tertekan, padahal kinerja keuangannya cukup positif. Selain itu, sektor tambang batu bara juga masih cukup tertekan sehingga turut menekan indeks ini.
Rudiyanto, Direktur Panin Asset Management, sependapat bahwa absennya sektor perbankan memang menjadi risiko indeks ini karena prinsipnya yang mengharamkan riba atau pendapatan bersifat bunga dari bank.
Padahal, di pasar modal Indonesia, sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang paling sktif ditransaksikan dan menjadi perhatian banyak investor. Ini menyebabkan dalam jangka panjang JII akan tetap underperform terhadap IHSG.
Di samping itu, saat ini tren kenaikan suku bunga global mulai mereda. Bank Indonesia justru berpotensi turunkan suku bunga acuan, sehingga bisa memacu permintaan kredit. Ini jadi sentimen positif bagi sektor bank, sehingga makin sulit terkejar JII.
Sementara itu, sektor komoditas yang menjadi andalan JII karakternya sangat volatil. Rudiyanto menilai, sektor yang mungkin akan potensial untuk menopang JII tahun ini adalah properti, dalam hal ini saham SMRA, CTRA, dan BSDE yang akhir-akhir ini naik cukup pesat.
“Kalau tren suku bunga mulai ada wacana untuk turun di akhir tahun, ini akan menguntungkan properti. Sektor riilnya munkgin bisa pulih tahun depan, tetapi sahamnya bisa duluan,” katanya.
Rudiyanto mengatkan, tantangan lainnya indeks ini yakni terbatasnya saham-saham prospektif yang bisa masuk. Emiten-emiten yang berencana ekspansi besar, umumnya akan menaik utang tinggi, sedangkan ketentuan syariah membatasi rasio utang terhadap aset tidak lebih dari 45%.
“Kalaupun sejumlah sektor tidak bisa masuk di saham syariah, batasan rasio utang ini mungkin bisa diperlonggar, katakan hingga 60% dari aset. Dengan itu, sejumlah emiten yang bagus bisa masuk juga,” katanya.
Frederik Rasali, Vice President Research Artha Sekuritas, mengatakan bahwa sektor yang bisa diandalkan bagi JII tahun ini kemungkinan dari ritel dan konsumen, sebab sudah cukup terdiskon. Adanya momen pemilu seharusnya menjadi sentimen positif untuk sektor ini.
Konstituen sektor ini pada JII antara lain INDF, ICBP, LPPF, dan UNVR. Frederik juga menyoroti sektor properti yang harganya masih cukup murah, meskipun pemulihan bisnisnya masih harus menunggu bangkitnya daya beli masyarakat.
“Sedangkan sektor tambang batubara masih cukup tertekan dan bergantung pada permintaan dari China. Selama PMI China belum berkembang lagi, maka batubara akan masih cukup stagnan,” katanya.