Bisnis.com, JAKARTA—Investor asing lebih banyak memburu instrumen obligasi negara dibandingkan saham sepanjang tahun ini karena proyeksi potensi return obligasi negara akan lebih tinggi dibandingkan saham tahun ini.
Berdasarkan data Bloomberg, nilai beli bersih investor asing sepanjang tahun berjalan sudah mencapai Rp11,07 triliun hingga Senin (25/3/2019). Nilai ini jauh lebih rendah dibandingkan nilai beli bersih asing di pasar surat berharga negara (SBN).
Berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, nilai beli bersih asing di pasar SBN sepanjang 2019 hingga Rabu (20/3/2019) sudah mencapai Rp60,83 triliun.
Asing mencatatkan net buy senilai Rp63,38 triliun di instrumen surat utang negara (SUN), tetapi mencatatkan net sell senilai Rp2,55 triliun di instrumen sukuk negara.
Janson Nasrial, Senior Vice President Royal Investium Sekuritas, mengatakan bahwa riil yield SUN 10 tahun terhadap inflasi headline dan inflasi inti saat ini berada pada level tertinggi sejak 2010.
Inflasi tahunan per Februari 2019 lalu berada pada level 2,57%, terendah sejak November 2009. Dengan yield SUN 10 tahun yang kini pada kisaran 7,63%, riil yield SUN 10 tahun mencapai 5,06%. Tingkat riil yield SUN Indonesia berada di urutan ketiga tertinggi di antara negara-negara berkembang.
Janson mengatakan, tingginya riil yield menyebabkan yield SUN berpotensi turun di masa mendatang sehingga mendorong kenaikan harga. Agresifnya investor asing masuk ke pasar SUN juga akan mendorong penurunan yield ini terjadi.
“Sepertinya tren investor asing akumulasi SUN masih berlanjut hingga akhir tahun karena sepertinya inflasi masih rendah, kurang lebih seperti tahun kemarin, 3% - 3,5%,” katanya, Senin (25/3/2019).
Anup Kumar, Senior Fixed Income Analyst Bank Maybank Indonesia, mengatakan bahwa inflasi domestik yang rendah dibarengi oleh prediksi ekonomi yang melambat karena adanya ekspektasi penurunan BI 7 DRR menyebabkan pilihan instrumen SBN menjadi lebih menarik.
Menurutnya, bila pertumbuhan ekonomi diekspektasikan melambat, penjualan perusahaan terbuka kemungkinan akan turun. Bila demikian, laba bersih perusahaan pun akan turun, demikian pula valuasinya yang dihitung berdasarkan berbagai teknik perhitungan berdasarkan laba bersih.
Jika laba bersih diekspektasikan turun, akan sulit untuk menjustifikasi kenaikan harga saham. Saat ini, price to earning (PE) ratio 20,8 kali. Anup mengatakan, dengan PE ratio tersebut artinya return yang diterima investor dalam setahun di pasar saham rata-rata sebesar 5%.
“Mengingat risiko perusahaan lebih tinggi, tidak masuk akal bagi investor asing untuk beli saham dan mendapatkan return 5%, di mana pada waktu bersamaan asing bisa mendapatkan return 7,5% dengan membeli surat utang bebas risiko,” katanya.