Bisnis.com, JAKARTA — Maybank Asset Management menilai rendahnya inflasi dan minimnya katalis untuk aset berisiko membuat obligasi lebih menarik dibandingkan dengan saham untuk dijadikan underlying asset produk reksa dana pada tahun ini.
Chief Executive Officer Maybank Asset Management Denny R. Thaher memaparkan, dari Desember 2018 hingga sekarang, indeks saham banyak didorong oleh performa saham small caps yang rentan terhadap aksi ambil untung (profit-taking).
“"Dalam hal underlying asset, rendahnya inflasi dan minim nya katalis untuk aset berisiko membuat obligasi lebih menarik dari pada saham. Namun, kami masih melihat peluang untuk saham big caps yang sudah underperform terlalu lama sejak tahun lalu dan dapat diuntungkan dari perbaikan harga SUN,” katanya kepada Bisnis.com melalui surat elektronik, Senin (11/3/2019).
Dengan demikian, dia melanjutkan, akan ada kesempatan untuk melakukan tactical rebalancing terhadap saham big caps.
Selain itu, Maybank AM juga bakal tetap fokus pada instrumen yang likuid untuk menjaga fleksibilitas portofolio di tengah volatilitas pasar yang tinggi.
Adapun, Denny menambahkan, Maybank AM akan memberikan fokus yang lebih untuk saham-saham dengan faktor idiosyncratic-risk yang lebih tinggi. Pasalnya, banyak faktor yang saling berlawanan terjadi pada ini. Dengan demikian, efek dari market beta pada saat sentimen menjadi negatif dapat dihindari.
Apabila sentimen terhadap rupiah dan neraca keuangan Indonesia kembali membaik diringi dengan berakhirnya siklus kenaikan suku bunga BI, maka saham-saham perbankan pun bakal diuntungkan. “Di sisi lain, kami melihat adanya potensi tactical trading untuk saham-saham komoditas, bahan baku dan ritel,” imbuh Denny.
Sementara itu, untuk beberapa perusahaan BUMN, Denny menilai, ada potensi bagi perusahaan BUMN di luar konstruksi untuk membukukan kinerja yang lebih baik, terlebih lagi setelah adanya dorongan dari pemerintah dalam mengejar target perbaikan laporan keuangan.
Ke depannya, Denny memperkirakan volatilitas masih akan tinggi didorong oleh faktor internal dan eksternal. Adapun, secara historis, indeks saham Indonesia memang membukukan kinerja yang positif selama 3—6 bulan sebelum Pemilu.
“Sesuai ekspektasi, IHSG telah bangkit dari level rendahnya di bulan Oktober lalu. Artinya, kita sudah memasuki bulan ke—5 pada periode sebelum pemilu sehingga aksi profit taking pun terjadi, terlepas bagaimana hasil dari pemilu tersebut nanti” tulis Denny.