Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Bertahan Menguat Saat Mayoritas Mata Uang Asia Tertekan

Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup menguat 7 poin atau 0,05% di level Rp14.220 per dolar AS dari level penutupan perdagangan sebelumnya.
Karyawan menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di Jakarta, Senin (1/7/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
Karyawan menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di Jakarta, Senin (1/7/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah mampu rebound terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada akhir perdagangan hari ini, Selasa (22/1/2019).

Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup menguat 7 poin atau 0,05% di level Rp14.220 per dolar AS dari level penutupan perdagangan sebelumnya. Pada perdagangan Senin (21/1), nilai tukar rupiah ditutup terdepresiasi 49 poin atau 0,35% di level Rp14.227 per dolar AS.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mulai rebound dari pelemahannya ketika dibuka terapresiasi 18 poin atau 0,13% di level Rp14.209 per dolar AS dari level penutupan perdagangan sebelumnya. Sepanjang perdagangan hari ini, rupiah bergerak di level Rp14.185 – Rp14.228 per dolar AS.

Selain rupiah, hanya mata uang yen Jepang yang terapresiasi terhadap dolar AS sebesar 0,2%. Sebaliknya, mata uang lainnya di Asia terpantau melemah terhadap dolar AS siang ini, dipimpin ringgit Malaysia yang terdepresiasi 0,46%.

Sementara itu, indeks dolar AS, yang mengukur kekuatan greenback terhadap sejumlah mata uang terpantau menguat 0,011 poin atau 0,01% ke level 96,347 pada pukul 16.59 WIB.

Pergerakan indeks dolar sebelumnya dibuka naik hanya 0,001 poin di level 96,337 pagi tadi, setelah berakhir flat di posisi 96,336 pada perdagangan Senin (21/1).

Dilansir dari Bloomberg, mayoritas mata uang dan indeks saham di Asia bergerak ke posisi lebih rendah pada perdagangan hari ini, setelah Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan global. Hal ini menambah kekhawatiran yang semakin dalam atas dampak dari konlfik perdagangan AS dan China.

Berdasarkan laporan World Economic Outlook (WEO) Januari 2019, IMF memperkirakan PDB ekonomi global akan tumbuh 3,5% pada 2019 dan3,6% pada 2020. Angka tersebut lebih rendah masing-masing 0,2% dan 0,1% dari WEO Oktober 2018. Pertumbuhan tersebut juga lebih lambat jika dibandingkan dengan estimasi pertumbuhan ekonomi pada 2018 sebesar 3,7%.

Dalam laporan yang dirilis pada Senin (21/1), IMF menyebutkan revisi turun itu melihat adanya dampak negatif dari kenaikan tarif perdagangan antara Amerika Serikat dan China yang menyebabkan perekonomian Negeri Panda berpotensi melambat lebih besar dari ekspektasi.

Selain ketegangan perdagangan, potensi no-deal Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa kesepakatan ikut menjadi sentimen pemberat perekonomian tahun ini.

Menurut Brown Brothers Harriman, mata uang pasar negara berkembang tetap berada di bawah tekanan karena dolar AS tetap tangguh.

“Saat prospek suku bunga AS yang lebih kecil menguntungkan emerging market, kami rasa hal ini diimbangi dengan memburuknya prospek pertumbuhan global,” ujar kepala global strategi mata uang Win Thin dalam risetnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fajar Sidik
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper