Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Diprediksi Melemah Hingga Sentuh Level Rp15.500 Per Dolar AS

Nilai tukar rupiah diprediksi akan mengalami tekanan lebih lanjut akibat memanasnya konflik perdagangan Amerika Serikat-China dan lonjakan harga minyak.
Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dollar AS di Jakarta, Senin (2/7/2018)./ANTARA-Puspa Perwitasari
Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dollar AS di Jakarta, Senin (2/7/2018)./ANTARA-Puspa Perwitasari

Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah diprediksi akan mengalami tekanan lebih lanjut akibat memanasnya konflik perdagangan Amerika Serikat-China dan lonjakan harga minyak.

Mata uang Garuda dapat terus melemah hingga mencapai level Rp15.500 per dolar AS sebelum akhir tahun ini akibat dampak konflik perdagangan AS-China yang memburuk dan melonjaknya harga minyak, menurut analis di Julius Baer Group Ltd.

Level tersebut terpaut pelemahan hampir 2% dari level penutupan yang disentuh di kisaran Rp15.200 per dolar AS pada hari Rabu (10/10/2018).

“Terlepas dari tindakan proaktif oleh bank sentralnya [Bank Indonesia], rupiah terus berada di bawah tekanan karena kondisi likuiditas yang mengetat dari kenaikan suku bunga AS dan perang perdagangan yang semakin intensif,” jelas Magdalene Teo, head of fixed income research untuk Asia di Julius Baer Group Ltd.

“Sebagai importir minyak, Indonesia juga akan merasakan tekanan dari kenaikan harga minyak mentah yang semakin membebani defisit transaksi berjalan dan mata uang negara itu.”

Rupiah telah menjadi salah satu korban terbesar di Asia akibat gejolak pasar negara berkembang (emerging market) yang telah mengguncang banyak negara mulai dari Turki hingga Argentina.

Mata uang Garuda telah merosot 11% terhadap dolar AS sepanjang tahun ini ke level terlemahnya sejak krisis keuangan Asia tahun 1998.

Menggaungkan penurunan tersebut adalah aksi jual dalam obligasi Indonesia. Imbal hasil pada utang mata uang lokal 10 tahun melonjak menjadi setinggi 8,62% pada September dari 6,3% pada awal tahun saat kegelisahan investor mendorong pelepasan aset-aset berisiko. Menurut Teo, aksi jual obligasi masih memiliki ruang untuk berjalan.

“Jika rupiah bergerak ke arah 15.500 seperti yang diperkirakan ekonom kami dalam tiga bulan, ada kemungkinan mencapai level 9%,” katanya tentang imbal hasil.

Bank Indonesia dan pemerintah telah gigih dalam upaya mereka untuk melawan gejolak tersebut, di antaranya dengan melakukan lima kali penaikan suku bunga sejak Mei, membatasi impor, dan intervensi aktif dalam pasar obligasi dan mata uang Indonesia.

Upaya-upaya ini datang bukan tanpa akibat. Cadangan devisa turun ke level terendah dalam 22 bulan yakni US$114,8 miliar pada September karena BI menguras dana untuk membayar utang luar negeri dan menstabilkan rupiah.

Terlepas dari upaya BI, nasib rupiah mungkin masih terpengaruh oleh langkah Federal Reserve AS, yang tetap berkomitmen untuk menaikkan biaya pinjaman.

“Inilah mengapa kami memperkirakan tren pelemahan rupiah akan berlanjut, dengan periode yang relatif tenang dan stabilitas akibat kembalinya minat untuk aset berisiko silih berganti dengan pelemahan menyusul kuatnya data atau komentar bernada hawkish dari AS,” kata Susan Joho, ekonom Julius Baer.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper