Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak terus tembus US$74 per barel terdorong oleh penyusutan pasokan minyak AS bersamaan dengan adanya risiko pasokan dari Iran dan Libya.
Perdagangan di New York terkerek tipis setelah mengalami kenaikan sebesar 1,3% pada dua sesi sebelumnya. Laporan pemerintah AS menunjukkan bahwa cadangan minyak mentah AS anjlok untuk keempat kalinya dalam lima pekan.
Sementara itu, Libya memberi peringatan bahwa cadangan minyaknya juga terus merosot karena di tengah adanya penutupan bandar minyak, selagi OPEC memberi sinyal akan berusaha sekuat tenaga untuk menanggulangi penyusutan, dengan tetap tidak bertindak secara berlebihan.
Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) sempat diperdagangkan di level tertinggi yang terakhir kali muncul pada 2014 karena adanya gangguan pasokan di Kanada dan Libya dan sanksi Amerika Serikat terhadap Iran yang akan datang sehingga meningkatkan krisis minyak global.
Pasokan minyak di seluruh dunia terus mengalami penyusutan setelah organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) dan sekutunya mulai memangkas hasil produksinya pada awal tahun lalu.
Saat ini, organisasi tersebut sedang mendapat tekanan dari Presiden AS Donald Trump untuk menurunkan harga minyak, mengurangi kebijakan pemangkasan minyaknya. Meskipun demikian, pasar minyak masih tetap khawatir karena masih ada potensi penyusutan pasokan dan lonjakan permintaan.
Baca Juga
“Faktor bullish lebih menonjol dari bearish karena investor melihat ada risiko pada sejumlah negara produsen minyak, termasuk kekhawatiran akan gangguan pasokan dari Libya. Sejumlah negara di Asia kemungkinan juga akan menggeser pembelian minyaknya dari Iran ke AS, tapi itu akan membuat pasokan minyak AS semakin menyusut,” ujar Satoru Yoshida, analis komoditas Rakuten Securities Inc., dilansir dari Bloomberg, Selasa (10/7).
Pada perdagangan Selasa (10/7), tercatat harga West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Agustus terkerek 0,47 poin atau 0,64% menjadi US$74,32 per barel, naik 23,01% selama tahun berjalan. Total volume yang diperdagangkan jumlahnya 45% di bawah rata-rata 100 hari.
Adapun, harga minyak Brent naik 0,55 poin atau 0,70% menjadi US$78,62 per barel pada perdagangan di London ICE Futures Eropa. Harga minyak Brent mencatatkan kenaikan sebesar 17,57% untuk sepanjang tahun ini. Harga tersebut premium US$4,30 per barel dari minyak WTI.
Selain itu, perdagangan berjangka minyak untuk pengiriman September di Shanghai International Energy Exchange naik 0,8% menjadi 501,8 yuan per barel. Sebelumnya, kontrak tersebut sempat mengalami kenaikan sebesar 0,4% pada Senin (9/7).
Cadangan minyak mentah AS kemungkinan akan mengalami penurunan hingga sekitar 3,88 juta barel pada pekan lalu dari survei pada data Energy Information Administration (EIA) pada Selasa (10/7). Jumlah persediaan minyak yang ada di pusat penyimpanan di Cushing, Oklahoma, juga diperkirakan menurun 1,3 juta barel.
Meskipun demikian, EIA memproyeksikan bahwa produksi minyak mentah AS masih bisa mencapai 11,76 juta barel per hari pada akhir 2018.
Di Libya, kekhawatiran akan gangguan pasokan terus muncul di tengah kebuntuan masalah politiknya. “Hasil produksinya diprediksi akan terus menurun dari hari ke hari jika banyak bandar minyak utamanya yang ditutup,” ujar Mustafa Sanalla, kepala National Oil Corp.
Para produsen OPEC saat ini memompa sekitar 527.000 barel per hari, tak sampai setengah dari jumlah yang dipompa mereka sebelum berseteru pada Februari yang kemudian memaksa ladang minyak di Barat Libya untuk ditutup.
Sementara itu, OPEC menyangkal permintaan Trump yang menyatakan bahwa kelompok tersebut harus melakukan sesuatu agar harga minyak bisa kembali turun.
“Tidak adil jika mengatakan bahwa OPEC tidak melakukan apa-apa,” ungkap Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail Al Mazrouei, yang juga menilai bahwa perlu untuk menjauhkan pasar dari kondisi kelebihan pasokan yang memicu penurunan harga pada beberapa waktu lalu.
Iran memperingatkan bahwa harga minyak kemungkinan bisa mencapai US$100 jika pasokannya dipangkas oleh AS bersamaan dengan AS yang mendorong sekutunya agar menghentikan impor minyak dari wilayah Teluk Persia.
Selain itu, pasokan minyak Kanada juga turut mengalami penyusutan untuk beberapa waktu mendatang karena Suncor Energy Inc. sedang berupaya keras untuk membuat operasi Syncrude oil-sands kembali hidup, yang diperkirakan akan memakan waktu hingga September.
“Industri minyak mendapat risiko akan kemerosotan pasokan karena sejumlah perusahaan besar berfokus pada minyak serpih AS dan upaya jangka pendeknya. Kenaikan investasi pada hasil produksi jangka pendek tidak akan cukup untuk memenuhi kenaikan permintaan terhadap minyak mentah. Minyak lain seperti minyak serpih tidak akan menjadi gangguan berarti bagi pemenuhan pasokan global hingga 2040,” tutur Amin Nasser, CEO Aramco.
Komentar Kepala produsen minyak milik negara Arab Saudi itu serupa dengan kekhawatiran sejumlah analis. Dalam laporan bank asal Amerika Merrill Lynch, harga minyak kemungkinan bisa naik hingga US$120 per barel jika sanksi AS benar menimbulkan dampak pada ekspor dari Iran.
Adapun, dalam laporan Sanford C. Bernstein & Co., kelebihan pasokan minyak global pada beberapa tahun terakhir telah menutupi kekurangan investasi yang cukup parah. Kemudian, harga minyak rebound ke level tertingginya pada lebih dari tiga tahun terakhir karena organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) dan sekutunya mulai menahan produksi pada awal tahun lalu untuk memangkas kelebihan minyak global.
Para produsen itu sekarang menargetkan untuk memompa lebih banyak untuk mendinginkan gejolak pasar, tetapi gangguan dari Libya dan Venezuela justru terus mendorong harga minyak naik.
Sanford C. Bernstein & Co. menyebutkan, harga minyak bahkan bisa terus terkerek hingga sekitar US$150 per barel karena cadangan minyak dari sejumlah perusahaan terkemuka dunia mengalami kemerosotan hingga 30% dari rata-rata yang dicapai sejak 2000 karena kekurangan investasi.
Harga minyak Brent sempat reli menyentuh level US$147 per barel pada 2008 atas adanya lonjakan permintaan namun pasokan minyak tidak tersedia dan ketidaksiapan produsen untuk memenuhi lonjakan harga seluruh komoditas yang memicu supercycle.