Bisnis.com, JAKARTA -- ZTE Corp kehilangan market value hingga US$3 miliar, sekitar Rp41,7 triliun, setelah mengumumkan akan membayar denda sebesar US$1,4 miliar, setara dengan Rp19,5 triliun, kepada Pemerintah AS.
Saham ZTE yang diperdagangkan di bursa Hong Kong merosot sampai 41% menjadi 14,98 dolar Hong Kong, level terendah dalam setahun terakhir, Rabu (13/6/2018). Padahal, seperti dilansir Reuters, saham ZTE baru dibuka kembali hari ini setelah dikenai suspensi perdagangan selama dua bulan.
Sementara itu, sahamnya di bursa Shenzen turun 10%.
Kondisi ini terjadi paska ZTE mengonfirmasi isi kesepakatan dengan AS terkait moratorium pembelian komponen elektronik dari perusahaan-perusahaan AS.
Moratorium selama tujuh tahun itu bermula dari pelanggaran perjanjian antara perusahaan tersebut dengan AS, di mana ZTE tertangkap melakukan perdagangan dengan Iran dan Korea Utara (Korut). Seperti diketahui, dua negara ini mendapat sanksi ekonomi dari AS.
Moratorium berarti ZTE tidak bisa mendapatkan komponen penting untuk produksi perangkat elektroniknya. Kondisi itu tidak akan dicabut hingga perusahaan membayar denda dan menaruh dana US$400 juta di rekening escrow yang ditunjuk AS.
Pada Selasa (12/6), ZTE mengungkapkan akan mengganti jajaran direksinya dan dewan direksi di ZTE Kangxun--anak usaha perusahaan di sektor ekspor impor--dalam waktu 30 hari per 8 Juni 2018, hari di mana kesepakatan itu ditandatangani oleh AS.
Seluruh pejabat di level senior vice president (SVP) akan diganti dalam waktu 30 hari dan tidak akan diangkat kembali, bersama seluruh pejabat eksekutif atau staf yang terkait dengan pelanggaran perjanjian tersebut.
Perusahaan mengungkapkan bakal merilis ulang laporan keuangan kuartal I/2018 setelah menghitung dampak moratorium dan kesepakatan damai.
Kasus ini turut menyeret perhatian para politisi karena menjadi salah satu kunci pembicaraan dagang antara AS dan China.
ZTE adalah perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di China dan memiliki nilai pasar sekitar US$20 miliar sebelum sahamnya disuspensi pada April 2018. Di tingkat global, perusahaan itu berada di peringkat keempat perusahaan telekomunikasi terbesar dunia setelah Huawei Technologies, Ericsson, dan Nokia.