Bisnis.com, JAKARTA – Emiten produsen semen PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk. mempertimbangkan untuk mengerek harga jual produk di level 1%—2% pada semester II/2018, untuk mengantisipasi kinerja finansial perusahaan yang terdampak pasokan semen nasional yang berlimpah.
Pada tahun ini, Indonesia diprediksi membutuhan 70 juta ton semen, namun kapasitas terpasang nasional mencapai 108 juta ton. Dengan pasokan berlebih (oversupply) mencapai 38 juta ton, harga jual semen pun ikut tertekan.
Direktur Utama Indocement Tunggal Prakasa Christian Kartawijaya mengungkapkan selama kuartal I/2018, biaya produksi perseroan telah mengalami kenaikan 11% dibandingkan dengan kuartal I/2017 (yoy), namun harga jual justru melemah lebih dari 7%.
“Setelah Lebaran ini, kami akan melakukan tes pasar dengan mencoba menaikkan harga jual, tetapi kenaikannya rendah sekali, pada kisaran 1%—2%. Industri semen sudah seharusnya adjust dari sisi harga, kalau harga jual terus rendah, industri tidak akan sustainable,” ungkap Christian di Jakarta, Senin (4/6/2018).
Selain itu, jika sulit meningkatkan harga penjualan, perseroan akan membatasi pemasaran hanya di wilayah-wilayah sekitar pabrik. Kondisi ini memungkinkan Indocement tetap dapat mengefisienkan biaya logistik.
Pada kuartal I/2018, harga jual semen perseroan pun tercatat mengalami kenaikan di beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Harga semen di Jawa Barat dan Jabodetabek sulit untuk ditingkatkan mengingat kompetisi antarprodusen yang sangat ketat.
Christian menjelaskan emiten dengan kode saham INTP tersebut memang berhasil meningkatkan penjualan selama 2017 sebesar 9,6% atau di atas rata-rata penjualan industri semen nasional yang sebesar 7%—8%.
Kendati demikian, perseroan sulit menangkis biaya produksi yang meningkat karena beberapa faktor seperti kenaikan harga batu bara yang merupakan bahan bakar utama perseroan dan fluktuasi nilai tukar rupiah.
Kendati memproduksi semen di Indonesia, Christian mengungkapkan 50% biaya yang dikeluarkan perseroan masih dalam dolar.
“Misalnya untuk membeli paper bag, itu kami impor. Depresiasi rupiah akan sangat memengaruhi biaya produksi sehingga margin pada kuartal I/2018 mengalami tekanan. Kami tidak bisa meneruskan biaya ini ke pasar karena kondisi yang oversupply,”ungkapnya.