Bisnis.com, JAKARTA – Dolar Amerika Serikat (AS) telah menguat dalam beberapa pekan terakhir. Tetapi kondisi ini diperkirakan akan berubah pada paruh kedua tahun ini.
Indeks dolar, yang mengukur kekuatan greenback terhadap sejumlah mata uang utama, naik 3,43% dalam dua pekan terakhir saat data ekonomi AS terlihat lebih baik dibandingkan dengan data ekonomi zona Eropa dan Jepang. Penguatan dolar memutarbalik tren penurunan yang dialaminya selama 2017.
“Namun kekuatan dolar kemungkinan hanya akan bertahan dalam jangka waktu yang cukup terbatas, karena zona euro dan Jepang akan mengejar pada paruh kedua tahun 2018,” ujar Marc Franklin, manajer portofolio senior di Conning Asia Pasifik, seperti dikutip CNBC.
Menurutnya, apa yang terjadi baru-baru ini adalah meningkatnya perbedaan dalam hal pertumbuhan data inflasi di AS dibandingkan dengan data inflasi di Eropa dan Jepang, pada khususnya.
“Tapi mulai memasuki paruh kedua tahun ini, inflasi zona euro - dengan asumsi harga minyak tetap bertahan - mulai naik, seperti halnya inflasi Jepang,” lanjut Franklin.
“Defisit kembar di Amerika Serikat terlihat memburuk, berkat langkah pemotongan pajak yang diusung Presiden Donald Trump. Itu tidak membantu prospek greenback,” katanya.
Dijelaskan olehnya, defisit neraca berjalan yang melebar dan anggaran pemerintah yang lebih besar meningkatkan pasokan dolar AS dari waktu ke waktu.
“Secara struktural, akan ada peningkatan pasokan dolar dalam sistem selama dua atau tiga tahun ke depan, dan itu berpotensi menciptakan tekanan untuk dolar dalam jangka lebih panjang,” tambah Franklin.
Pada perdagangan hari ini, Kamis (3/5/2018), indeks dolar AS terpantau naik 0,03% atau 0,031 poin ke level 92,543 pada pukul 11.09 WIB.
Sebelumnya indeks dibuka dengan penguatan 0,241 poin atau 0,26% di level 92,753, setelah pada perdagangan Rabu (2/5) berakhir menguat 0,07% atau 0,063 poin di posisi 92,512.