Bisnis.com, JAKARTA – Minyak memanas seiring dengan laporan dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menuturkan bahwa Iran ‘berbohong’ dan terus mengembangkan senjata nuklirnya dan meyakini bahwa Presiden AS Donald Trump akan melakukan hal yang tepat dalam meninjau kesepakatan nuklir.
Terpantau, pada perdagangan Selasa (1/5) pukul 10.06 WIB, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) menguat 0,16 poin atau 0,23% menuju US$68,73 per barel di New York Merchantile Exchange. Sebelumnya, harga ditutup menguat di US$68,57 per barel.
Pada waktu yang sama, harga minyak Brent naik 0,17 poin atau 0,23% menjadi US$74,86 per barel di ICE Futures yang berbasis di London setelah ditutup menguat di level US$74,69 per barel.
Harga sempat mengalami tekanan pada Senin (30/4) setelah laporan Baker Hughes menunjukkan adanya peningkatan jumlah rig minyak AS sebanyak 5 rig menjadi 825 titik, level tertinggi sejak Maret 2015. Namun, pelemahannya tidak bertahan lama akibat dorongan dari laporan Israel tentang kesepakatan nuklir Iran.
“Minyak bereaksi sangat keras terhadap pengumuman Netanyahu,” kata Phil Flynn, analis Price Futures Group di Chicago, seperti dilansir dari Reuters, Selasa (1/5/2018).
Flynn menuturkan, harga minyak melonjak setelah Netanyahu mengatakan, Israel memiliki bukti bahwa Iran berbohong tentang program nuklirnya setelah menandatangani perjanjian 2015. Hal ini membuat pelaku pasar berspekulasi bahwa Amerika Serikat akan menarik kesepakatan nuklir Iran.
Namun, di satu sisi, Iran menepis tuduhan Netanyahu dan menyebut hal itu sebagai propaganda. Amerika Serikat diperkirakan akan memutuskan apakah sanksi ini akan disetop atau dilanjutkan pada 12 Mei 2018 mendatang.
“Ini akan memberi dukungan terhadap harga sampai 12 Mei. Sampai titik itu, risiko geopolitik mendominasi,” ujar John Kilduff, partener Again Capital LLC di New York, seperti dilansir dari Bloomberg.
Harga minyak pada April telah meningkat ke level tertinggi sejak akhir 2014, didorong oleh kekhwatiran atas potensi terganggunya pasokan minyak mentah Iran, negara produsen minyak terbesar ketiga di organisasi negara pengekspor minyak (OPEC). Para analis menilai pasar sangat sensitif terhadap perkembangan kesepakatan nuklir dan sanksi Iran.