Bisnis.com, JAKARTA – Harga kakao mencapai level tertinggi dalam 17 bulan seiring dengan kondisi pasar yang diperkirakan akan mengalami defisit setelah pada tahun—tahun sebelumnya ditekan oleh kondisi surplus pasokan.
Harga kakao berjangka kontrak teraktif Mei 2018 di ICE Futures New York tercatat melonjak 79 poin atau 3,1% menjadi US$2.635 per ton, level tertinggi untuk kontrak paling aktif sejak November 2016.
Harga tersebut mencatatkan secara year to date (ytd), harga kakao tumbuh hingga 39,27% setelah ditutup di level US$1.893 per ton pada 29 Desember 2017. Tercatat, pada kuartal I/2018, harga kakao melonjak hingga 35%, pertumbuhan terbesar sejak kuartal II/2008 di tengah kekhawatiran pasokan di Afrika Barat.
Sementara pada 2 tahun terakhir, harga komoditas perkebunan tersebut tercatat mengalami penurunan hingga lebih dari 33%.
“Pasar memiliki alasan untuk terus reli,” kata Presiden J. Ganes Consulting di Panama City Judy Ganes Chase dalam sebuah laporan.
Ganes menuturkan bahwa alasan terkuat yang mendasari pertumbuhan harga kakao datang dari proyeksi defisit yang terjadi pada musim 2017/2018.
Baca Juga
“Musim ini tepat menjadi defisit daripada surplus pada musim—musim sebelumnya,” papar Ganes.
“Kemudian pada tahun depan bisa menjadi kekurangan yang lebih besar karena dampak dari harga sebelumnya yang lebih lemah menjadi jelas mendorong penurunan produksi,” lanjutnya.
Penurunan produksi kakao diperkirakan terjadi di negara produsen utama dunia Pantai Gading sebesar 23% pada musim ini, mengutip informasi dari Dewan Kopi dan Kakao Pantai Gading (CCC).
Sebagai informasi, perhitungan musim kakao dimulai pada Oktober dan berakhir pada September. Artinya, musim 2017/2018 diartikan dimulai pada Oktober 2017 dan berakhir pada September 2018.
Menurut CCC, produksi selama panen April—September 2018 maksimum mencapai 400.000 ton, lebih rendah dari musim sebelumnya sebesar 520.000 ton. Sementara berdasarkan jajak pendapat Reuters, produksi pada setengah musim sebelumnya atau September 2017—Maret 2018 mencapai 380.000—400.000 ton.
Sebelumnya, CCC menginformasikan bahwa produksi kakao diperkirakan akan menurun hingga 2 tahun ke depan sebagai upaya mengurangi kelebihan kapasitas global. Upaya yang dilakukan untuk mencapai hal tersebut berupa penundaan program peningkatan produksi kakao hingga musim 2018/2019.
Ganes menambahkan, kondisi cuaca yang tidak menentu di Afrika Barat sebagai produsen kakao papan atas global pada akhir tahun lalu dan awal tahun ini dinilai membuat pasar khawatir terhadap pasokan.
Pada kondisi lain yang mendukung harga, permintaan kakao dari pasar Eropa tercatat meningkat 4,4% dan di pasar Asia tumbuh 4,24% pada kuartal terakhir tahun lalu.
Michael Seery, analis Seery Futures dalam publikasi risetnya pada Senin (2/4) menuturkan bahwa harga kakao diproyeksikan bisa menyentuh level US$3.000 pada beberapa minggu ke depan.
“Saya telah merekomendasikan posisi bullish dari sekitar level US$1.990 per ton selama beberapa bulan terakhir dan jika anda mengambil perdagangan tersebut, stop loss tetap ada di level US$2.430 per ton,” papar Seery.
Seery mengatakan bahwa volatilitas pada kakao masih relatif rendah meskipun harga saat ini telah bergerak ke level--level tertinggi.
“Kondisi cuaca kering di Afrika Barat menjadi alasan utama mengapa harga lebih tinggi. Sekitar 7 atau 10 hari ke depan diperkirakan harga masih tetap positif,” tambahnya.