Bisnis.com, MALANG—Industri bursa berjangka menantikan insentif pajak berupa penerapan PPh final atas transaksi derivatif kontrak berjangka.
Bachrul Chairi, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), mengatakan telah mendatangi Kementerian Keuangan untuk membicarakan pungutan pajak dari pelaku industri ini.
"Mereka justru tanya sekarang kami maunya bagaimana. Jadi PPh final itu bolanya ada di tangan kami," kata Bachrul, Jumat (6/10).
Kendati demikian, lanjutnya, Bappebti dan pelaku industri masih berdiskusi tentang besaran tarif PPh final yang akan dibawa ke meja Dirjen Pajak, Kemenkeu.
Salah satu hambatan berasal dari skema transaksi di pasar berjangka komoditas yang terbagi dua, yakni transaksi multilateral dan transaksi sistem perdagangan alternatif (SPA).
"Mau dibuat PPh final, tetapi SPA harus masuk bursa supaya sama dengan multilateral. Yang jelas diskusinya sudah bergulir," imbuh Bachrul.
Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) no.17/2009 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa, pasal 2, besaran pengenaan PPh adalah 2,5%. Angka ini lebih besar dari tarif pemungutan PPh final di Bursa Efek Indonesia (BEI) senilai 0,1%.
Direktur Utama Jakarta Future Exchange (JFX) Stephanus Paulus Lumintang menyampaikan PPh yang saat ini dikenakan terhadap investor cukup memberatkan. Oleh karena itu, dengan nilai pajak yang lebih rendah diharapkan dapat meningkatkan volume transaksi PBK, khususnya kontrak multilateral.
"PPh yang sekarang memberatkan investor. Kita sendiri sudah mengusulkan nilai PPh final nantinya sebesar 0,1% untuk transaksi multilateral dan bilateral," ujarnya.
Menurutnya, perbedaan antara PPh lama dan baru nantinya selain besaran nilai pajak ialah mengenai kondisi pengenaan. Investor akan dikenakan PPh setelah melakukan likuidasi yang menguntungkan, sedangkan bila mengalami kerugian tidak dibebani pajak.