Bisnis.com, JAKARTA—Harga logam ditutup bervariasi pada Rabu (9/8/2017) seiring dengan sikap investor yang cenderung berhati-hati karena memantau situasi ketegangan antara Amerika Serikat dan Korea Utara.
Pada Selasa (8/8/2017), Presiden AS Donald Trump mengecam tindakan Korut yang kerap melakukan uji coba rudal balistik. Trump bahkan menegaskan negara tersebut akan mendapatkan ‘api dan amarah’ (fire and furry) yang belum pernah ada. Retorika dari sang presiden dinilai memanaskan suasana geopolitik global.
“Ketegangan AS dan Korea Utara mungkin tidak lebih dari retorika, tetapi pasar tetap waspada,” tutur senior market strategist RJO Futures Frank Cholly seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (10/8/2017).
Sentimen tersebut juga membuat dolar AS melemah. Pada penutupan perdagangan Rabu (9/8/2017), indeks dolar AS turun 0,099 poin atau 0,11% menuju 93,548. Adapun hari ini pada pukul 8.30 WIB, DXY merosot 0,020 poin atau 0,02% menjadi 93,528.
Pada penutupan perdagangan Rabu (9/8/2017), harga aluminium di London Metal Exchange (LME) turun 2,50 poin atau 0,12% menjadi US$2.027 per ton. Sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd), harga tumbuh 19,76%, tertinggi di antara logam lainnya.
Harga tembaga dalam waktu yang sama menurun 25 poin atau 0,39% menuju US$6.455 per ton. Secara ytd, harga menguat 16,61%.
Sementara itu, harga seng naik 6,50 poin atau 0,22% menjadi US$2.931 per ton. Secara ytd harga tumbuh 13,80%.
Harga nikel menguat 130 poin atau 1,22% menuju US$10.760 per ton. Sepanjang tahun berjalan harga naik 7,39%.
Adapun logam timbal turun 33 poin atau 1,38% menjadi US$2.350 per ton. Secara ytd harga tumbuh 16,54%.
Logam timah turun 5 poin atau 0,02% menuju US$20.205 per ton. Harga merosot 4,36% secara ytd.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim menuturkan, dalam jangka pendek harga logam mendapat dorongan fundamental akibat bencana alam yang terjadi di China. Pada Selasa (8/8/2017) malam, wilayah barat daya di Provinsi Sichuan mengalami gempa dengan kekuatan 6,5 skala richter.
Gempa tersebut menyebabkan ratusan orang mengalami luka-luka serta menghancurkan sejumlah infrastruktur dan bangunan. Faktor tersebut meningkatkan prospek permintaan logam industri, terutama aluminium dan tembaga.
Selain itu, sisi pasokan mengalami perlambatan karena berkurangnya produksi di tengah cuaca ekstrem. Akomodasi pengangkutan logam juga terhambat, sehingga menambah sentimen positif terhadap harga.
“Dalam jangka pendek faktor gempa China dapat menguatkan harga logam, terutama aluminium dan tembaga karena digunakan untuk infrastruktur serta bangunan. Namun, setelah itu pasar kembali melihat faktor fundamental murni,” tuturnya saat dihubungi Bisnis.com, Rabu (9/8/2017).
Di samping cuaca ekstrem hujan deras, kemudian disusul gempa, faktor ekonomi China yang membaik mendorong harga logam dalam jangka panjang. Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) Negeri Panda pada semester I/2017 stabil di level 6,9%, dan diperkirkaan bisa mencapai 7% pada 2018. Angka PDB yang di atas 6,5% menunjukkan adanya ekspansi.
Data neraca perdagangan China yang dirilis pada Selasa (8/8) juga menunjukkan peningkatan. Biro Statistik Nasional (NBS) melaporkan surplus perdagangan pada Juli 2017 mencapai sebesar US$46,74 miliar, atau level tertinggi sejak Januari 2017. Surplus tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan pasar sebesar US$46,08 miliar, dan realisasi Juni 2017 senilai US$42,77 miliar.
“Data ekonomi China yang solid memberikan sentimen positif terhadap harga logam,” paparnya.