Bisnis.com, JAKARTA—Harga logam industri kompak mengalami penguatan seiring dengan anjloknya dolar AS dan prospek meningkatnya permintaan China.
Pada penutupan perdagangan Rabu (2/8/2017), indeks dolar AS terkoreksi 0,207 poin atau 0,22% menuju 92,836. Ini merupakan level terendah sejak 2 Mei 2016 di posisi 92,626.
Sementara itu, pada perdagangan Kamis (3/8/2017) pukul 10.43 WIB, indeks dolar AS naik 0,098 poin atau 0,11% menuju 92,935.
Merosotnya dolar AS memberikan tenaga dorongan bagi harga logam untuk menguat. Pasalnya, pembeli yang menggunakan mata uang lain mendapatkan harga yang lebih murah.
Selai itu, permintaan logam di China, seperti seng dan tembaga, mengalami pertumbuhan sehingga stoknya semakin berkurang. Negeri Panda juga mengurnagi produksi aluminium.
Pada penutupan perdagangan Rabu (2/8/2017), harga aluminium di London Metal Exchange (LME) naik 19 poin atau 1% menjadi US$1.926 per ton. Sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd), harga tumbuh 13,76%.
Harga tembaga dalam waktu yang sama menguat 7 poin atau 0,11% menuju US$6.352 per ton. Secara ytd, harga menguat 14,75%.
Sementara itu, harga seng naik 21,50 poin atau 0,77% menjadi US$2.801 per ton. Secara ytd harga tumbuh 8,75%.
Harga nikel menguat 60 poin atau 0,58% menuju US$10.350 per ton. Sepanjang tahun berjalan harga naik 3,25%. Nikel sudah menguat dalam 9 sesi berturut-turut.
Adapun logam timbal naik 15 poin atau 0,64% menjadi US$2.353 per ton. Secara ytd harga tumbuh 16,69%, tertinggi di antara logam lainnya.
Logam timah naik 65 poin atau 0,32% menuju US$20.590 per ton. Namun, harga masih turun 2,53% secara ytd.