Bisnis.com, JAKARTA – Takata Corp, produsen suku cadang kendaraan bermotor roda empat termasuk pembuat airbag, tengah di ujung tanduk. Pengembalian airbag cacat dari 19 perusahaan otomotif dunia berpotensi membuat perusahaan asal Jepang itu bangkrut.
Supplier suku cadang mobil itu berjanji akan mengganti puluhan juta inflators air bag cacat yang digunakan 19 produsen mobil dan truk di seluruh dunia dari Tesla Inc. Sampai Toyota Motor Corp.
Analis Carnorama Takeshi Miyao mengatakan, Takata telah memilih perlindungan potensi pailit di Jepang dan Amerika Serikat (AS) untuk menghadapi pengadilan dan proses restrukturisasi bisa memberikan dampak negatif yang paling rendah bagi rantai pasok untuk pembuat kendaraan bermotor roda empat tersebut.
“Saya perkirakan paling cepat proses bisa berjalan dua bulan, sedangkan paling lama membutuhkan hingga setengah tahun,” ujarnya seperti dilansir Bloomberg pada Sabtu (24/6).
Profesor Hukum Universitas Southern Calofirnia Robert Rasmussen mengatakan, dalam undang-undang kepailitas AS mengizinkan calon pembeli untuk mengakuisisi aset Takata, tetapi tidak harus menanggung kewajiban yang tidak diinginkan, termasuk kewajiban pergantian atau recall inflators air bag tersebut.
“Dana hasil dari penjualan aset akan digunakan untuk mendanai produksi komponen pengganti. Dalam hukum AS juga dipastikan konsumen akan dilindungi dari cacat produk yang mengancam keamanan, artinya kewajiban penarikan kembali dari pabrik di tengah potensi pailit tetap harus dilakukan,” ujarnya.
Dia mengatakan, memang itu menjadi risiko yang cukup besar. “Harus dilihat berapa aset yang Takata punya dan bisa dijual lalu dibandingkan dengan berapa biaya melakukan penggantian airbag tersebut,” ujarnya.
Presiden Valient Market Research Scott Upham memperkirakan Takata membutuhkan sekitar US$5 miliar untuk mengganti dan melakukan penarikan kembali produk airbag cacat tersebut.
“Saat ini, mereka [Takata] punya kemampuan senilai US$2 miliar, sedangkan dana dari hasil penjualan aset bisa menghasilkan US$1,5 miliar sampai US$2 miliar. Intinya, masih tidak cukup dana untuk menutupi kerugian akibat kewajiban tersebut,” ujarnya.