Bisnis.com, JAKARTA – Pergerakan bursa saham di Asia menguat pada perdagangan pagi ini, Senin (19/6/2017), seiring melemahnya kinerja mata uang yen yang menopang penguatan saham-saham di Jepang.
Sementara itu, indeks saham di Hong Kong dan Shanghai juga bergerak naik menjelang pengumuman keputusan apakah MSCI akan memasukkan saham China ke dalam indeks global.
Indeks MSCI Asia Pacific naik 0,5% pada pukul 11.42 pagi waktu Tokyo (pukul 9.42 WIB).
Indeks Topix Jepang melonjak 0,6% di saat nilai tukar yen melemah 0,1% ke 111,03 per dolar AS dan indeks S&P/ASX 200 Australia naik 0,3%. Indeks Kospi Korea Selatan menguat 0,5%, sedangkan indeks Hang Seng Hong Kong menanjak 0,9% dan indeks Shanghai Composite naik 0,3%.
Pergerakan saham global turun pekan lalu, dengan volume perdagangan menyentuh level tertinggi sejak pertengahan Maret di saat pertumbuhan ekonomi dan penurunan pada sentimen konsumen menambah tanda-tanda potensi perlambatan tingkat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) dari yang diperkirakan.
Hal tersebut menyebabkan imbal hasil obligasi tetap turun di tengah lemahnya laju inflasi yang meragukan arah rencana bank sentral AS The Federal Reserve untuk pengetatan moneter.
Baca Juga
Di sisi lain, ada tanda-tanda yang lebih menggembirakan dari data di Asia pada hari ini, termasuk laporan jasa di Selandia Baru. Sementara itu, Jepang mengalami defisit perdagangan yang mengejutkan di bulan Mei, ditopang oleh impor yang lebih kuat dari perkiraan.
Gubernur bank sentral Australia Philip Lowe mengatakan bahwa Australia dapat mencapai pertumbuhan yang lebih kuat jika anggota parlemen dapat mengatasi kemacetan politik saat ini. Satu titik lemah terjadi di China, dengan kenaikan harga rumah di jumlah kota yang lebih sedikit bulan lalu akibat tindakan pendinginan pemerintah daerah.
Pekan ini, pasar menantikan pengumuman MSCI Inc. apakah akan menyetujui masuknya saham-saham yang terdaftar di China dalam indeks acuannya.
Pasar darat China, dengan nilai US$6,8 triliun adalah yang terbesar kedua di dunia dan berkontribusi sebesar 9% dari nilai saham global, telah ditolak untuk dimasukkan dalam indeks sebanyak tiga kali oleh MSCI karena sejumlah isu termasuk kontrol modal dan penghentian perdagangan yang panjang. Menurut Morgan Stanley, peluang persetujuan kali ini mencapai di atas 50%.