Bisnis.com, JAKARTA--Mengharumnya harga kakao akibat ketegangan di Pantai Gading diperkirakan tidak akan bertahan lama, kecuali masalah geopolitik itu kian memanas.
Pada penutupan perdagangan Senin (15/5/2017), harga kakao di ICE Futures New York kontrak Juli 2017 naik 26 poin atau 1,29% menjadi US$2.041 per ton. Ini merupakan level tertinggi sejak 6 April 2017 di posisi US$2.090 per ton.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim menyampaikan harga kakao memang mengalami lonjakan setelah Pantai Gading, sebagai produsen terbesar di dunia, mengalami masalah geopolitik internal. Sejumlah tentara yang notabene alat negara malah melakukan unjuk rasa kepada pemerintah karena menuntut peningkatan gaji dan bonus.
Tindakan unjuk rasa yang disertai pemblokiran jalan dan penembakan menimbulkan ekspektasi berkurangnya pasokan kakao. Alhasil pasar cenderung melakukan aksi beli.
"Pelaku pasar sebenarnya masih negatif terhadap kakao karena suprlus suplai. Dengan kondisi geopolitik yang serba tak menentu mengakibatkan mereka ambil posisi beli," tuturnya saat dihubungi Bisnis.com, Selasa (16/5/2017).
Oleh karena itu, sambungnya, sentimen kecemasan geopolitik Pantai Gading tidak akan bertahan lama menopang harga, meskipun pasar masih mencari arah apakah aksi tentara merupakan unjuk rasa murni atau berujung kudeta. Dalam jangka panjang, pasar akan kembali lagi melihat faktor fundamental antara suplai dan permintaan.
Pada Mei 2017, curah hujan masih cukup tinggi sehingga menurunkan kualitas biji kakao yang sedang mengalami masa panen. Faktor ini membuat sisi permintaan mengalami hambatan.
"Cuaca hujan yang meningkatkan kadar air kakao terutama terjadi di negara-negara produsen seperti di wilayah Afrika dan Indonesia yang memiliki dua musim," paparnya.
Ibrahim memprediksi harga kakao dapat mencapai level US$2.150 per ton sampai kuartal III/2017. Namun, harga kembali menuju kisaran US$2.000 per ton pada kuartal IV/2017.
Sentimen utama yang memengaruhi harga ialah proyeksi pasokan global yang diperkirakan mengalami surplus. Mengutip data estimasi dari International Cocoa Organization (ICCO), harga biji cokelat pada musim 2016-2017 akan jatuh akibat pergeseran kondisi pasar yang menjadi surplus pasokan sebesar 264.000 ton.
Angka tersebut menjadi surplus terbesar dalam enam tahun terakhir. Sebelumnya pada musim 2015-2016, pasar global mengalami defisit sejumlah 196.000 ton.
Sebagai informasi, perhitungan musim kakao dimulai Oktober dan berakhir pada September tahun berikutnya. Artinya, awal musim berada di kuartal keempat setiap tahunnya.
Total produksi pada musim 2016-2017 meningkat hampir 15% year on year (yoy) menjadi 4,55 juta ton dari sebelumnya 3,96 juta ton. Sementara volume pengolahan (grinding) - yang menjadi ukuran tingkat permintaan - hanya tumbuh 2,9% yoy menuju 4,24 juta ton dari sebelumnya 4,12 juta ton.