Bisnis.com, JAKARTA--Harga kakao mendapatkan sentimen positif seiring dengan proyeksi bertumbuhnya aktivitas penggilingan atau pengolahan di Asia pada kuartal I/2017.
Menurut median survei Bloomberg yang melibatkan tujuh responden mencakup analis dan pelaku usaha, aktivitas pengolahan biji cokelat di Asia pada kuartal I/2017 bertumbuh 10% year on year (yoy). Perkiraan peningkatan berkisar antara 2%-22%.
Volume pengolahan meningkat menjadi 163.802 ton dari kuartal I/2016 sejumlah 148.911 ton. Namun, angka tersebut menurun dibandingkan 188.493 ton pada kuartal IV/2016.
Jonathan Parkman, co-head of agriculture Marex Spectron Group mengatakan membaiknya aktivitas pengolahan biji cokelat seiring dengan peningkatan produksi. Bertumbuhnya aktivitas pengolahan bisa saja mengindikasikan meningkatnya volume permintaan.
"Margin pengolahan membaik, pasokan biji membaik, struktur pasar telah meningkat," tuturnya seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (18/4/2017).
Membaiknya pasar kakao juga akan menguntungkan Indonesia. Berdasarkan data Bank Dunia, Indonesia merupakan produsen ketiga terbesar di dunia.
Pada penutupan perdagangan Senin (17/4/2017), harga kakao di ICE Futures New York kontrak Juli 2017 naik 12 poin atau 0,63% menjadi US$1.927 per ton. Angka ini menunjukkan harga terkoreksi 8,85% sepanjang tahun berjalan.
Tahun lalu, harga kakao merosot 33,26%. Tren menurun dimulai setelah 18 Agustus 2016 ketika harga mencapai US$3.070 per ton.
Dalam laporannya yang dipublikasikan akhir Februari 2017, International Cocoa Organization (ICCO) memperkirakan harga biji cokelat pada musim 2016-2017 akan jatuh akibat pergeseran kondisi pasar yang menjadi surplus pasokan.
ICCO menyebutkan pada musim 2016-2017 yang dimulai Oktober kemarin, volume produksi kakao global akan melebihi permintaan atau surplus sebesar 264.000 ton. Ini menjadi surplus terbesar dalam enam tahun terakhir.
Sebelumnya pada musim 2015-2016, pasar global mengalami defisit sejumlah 196.000 ton. Sebagai informasi, perhitungan musim kakao dimulai bulan Oktober dan berakhir pada September.
Total produksi pada musim ini meningkat hampir 15% yoy menjadi 4,55 juta ton dari sebelumnya 3,96 juta ton. Sementara volume pengolahan - yang menjadi ukuran tingkat permintaan - hanya tumbuh 2,9% yoy menuju 4,24 juta ton dari sebelumnya 4,12 juta ton.
Pergeseran dinamika penawaran dan permintaan kakao telah membebani harga di bursa New York dalam 12 bulan terakhir. Jika penurunan harga berlanjut dalam beberapa bulan ke depan, maka harga kakao dan produk cokelat diperkirakan ikut merosot sehingga mendukung kenaikan konsumsi.
"Ini mungkin memerlukan waktu untuk mengurangi biaya dari biji kakao yang akan diteruskan sampai ke konsumen," papar ICCO.
Penambahan suplai terutama disumbang oleh Pantai Gading sebagai produsen terbesar di dunia. Tingkat produksi negara itu pada musim 2016-2017 diperkirakan melonjak 20% yoy menjadi 1,9 juta ton.
Dalam musim yang sama, produksi Ghana mencapai 850.000 ton. Suplai dari Indonesia juga bertambah sedikit menjadi 330.000 ton, dan Ekuador sebesar 270.000 ton. Adapun pasokan dari Nigeria meningkat 15% yoy menjadi 230.000 ton dan Kamerun meningkat menuju 250.000 ton.
Volume pengolahan diperkirakan meningkat di negara-negara produsen, tetapi stagnan di Eropa dan Amerika Serikat. ICCO menambahkan, turunnya harga kakao akan menguntungkan industri pengolahan pada musim ini dibandingkan dua periode sebelumnya.