Bisnis.com, JAKARTA--Harga tembaga meningkat dalam empat sesi perdagangan berturut-turut seiring dengan masih terjadinya gangguan dari tambang Escondida di Cile akibat pemogokan pekerja.
Pada penutupan perdagangan Selasa (14/3) di bursa London Metal Exchange (LME), harga tembaga naik 0,41% atau 24 poin menjadi US$5.820 per ton. Ini menunjukkan sepanjang tahun berjalan, harga sudah bertumbuh 5,14%. Pada 2016, harga tembaga menguat 17,65%.
Matt France, head of institutional sales metals Marex Spectron, menyampaikan harga tembaga mengalami kemajuan akibat belum tercapainya kesepakatan pekerja di Escondida, sebagai tambang terbesar di dunia. Pertemuan antara BHP Billiton sebagai pengelola dan pekerja soal upah tidak kunjung mencapai titik temu.
Pada 31 Januari 2017, pekerja di Escondida menolak nilai upah baru dan melakukan aksi mogok selama lima hari. "Namun hingga kini, pertemuan antara kedua belah pihak pada pekan lalu kembali gagal mencapai mufakat," ujarnya seperti dikutip dari Bloomberg, Rabu (15/3/2017).
Bedasarkan salinan dokumen dari BHP Billiton, produksi tembaga di tambang Escondida mengalami penurunan. Tingkat produksi pada Januari 2017 hanya mencapai 77.113 ton dari target sebesar 102.040 ton. Angka ini juga turun 16,81% year on year/yoy dari 92.700 ton pada Januari 2016 dan merosot 19,08% month on month/ mom dari 95.300 ton pada Desember 2016.
Namun, seperti komoditas lainnya, harga tembaga kemungkinan akan mengalami koreksi dalam waktu dekat akibat penguatan dolar AS. Pasalnya, rapat The Fed terdekat diperkirakan memutuskan penaikkan suku bunga.
Daniel Morgan, analis UBS Group AG, mengatakan lebih jauh permasalahan suplai dari dua tambang tembaga terbesar, yakni Escondida dan Grasberg di Indonesia menopang perbaikan harga.
Terjadinya aksi mogok pekerja BHP Billiton di tambang Escondida, sebagai tambang terbesar di dunia, menumbuhkan ekspektasi berkurangnya pasokan tembaga pada 2017 sekitar 1 juta ton atau 5% dari suplai global.
Angka ini naik dari pengurangan produksi sebesar 600.000 ton pada tahun lalu. Sementara dari Indonesia, belum juga terjadi kesepatakan antara Freeport-McMoRan Inc., dengan pemerintah.
Namun, harga tembaga masih berfluktuasi karena sikap spekulasi dari para investor. Dalam jangka pendek, harga berpotensi turun, tetapi masih menggiurkan untuk jangka panjang.
"Pada akhirnya harga akan ditentukan oleh faktor fundamental, dan saya pikir fundamental masih bagus," tuturnya.
Dalam risetnya, RK Capital Management LLC., menyampaikan kondisi gangguan produksi dapat terus berlanjut dan membuat pasar tembaga pada 2017 berpeluang mengalami kondisi defisit pertama kalinya dalam enam tahun terakhir. Tiga faktor utama yang memengaruhi penipisan suplai ialah pemogokan pekerja, gangguan teknis, dan cuaca buruk.
Tahun ini, jumlah defisit tembaga diperkirakan mencapai 327.000 ton. Kemungkinan kondisi pasar yang defisit berlangsung hingga 2020.
Situasi pasar yang mengalami kekurangan suplai juga tidak bisa secara tiba-tiba ditanggulangi oleh perusahaan baru, karena investasi yang terlalu mahal dan besarnya risiko. Perusahaan penambang tentunya sadar setiap kenaikan pasokan dapat menekan harga.
Dalam riset berbeda, Citigroup memaparkan, pasar tembaga 2017 dapat mengalami defisit sebesar 68.000 ton, dan memuncak menjadi 246.000 ton pada 2019. Sentimen tersebut membuat harga tembaga bisa mencapai US$8.000 per ton pada akhir 2020.
Meskipun demikian, menurut Zhong Min vice general manager of Jinrui Futures, pasar masih harus mewaspadai kemungkinan penurunan permintaan dari China. Konsumsi tembaga pada 2017 diperkiakan turun 3% yoy menjadi 11 juta ton.
Sentimen utama yang memengaruhi ialah perlambatan pertumbuhan penyerapan dari sektor properti dan otomotif. Pertumbuhan konsumsi otomotif tahun ini diperkirakan hanya mencapai 10% yoy dari 2016 sebesar 13,1% yoy. Adapun pembelian properti naik 0,35% dibandingkan 2016 yang tumbuh 1,3%.