Bisnis.com, JAKARTA--Harga minyak mentah memanas di tengah sentimen beragam dari data Amerika Serikat dan proyeksi penurunan produksi OPEC.
Pada perdagangan Kamis (9/2) pukul 17:12 WIB, harga minyak WTI kontrak Maret 2017 berada di posisi US$52,88 per barel, naik 0,54 poin atau 1,03%. Ini menunjukkan harga sudah terkoreksi 3,22% sepanjang tahun berjalan.
Andri Hardianto, analis Asia Trade Point Futures, menuturkan harga minyak mentah masih menguat kendati data persediaan dan produksi AS mengalami peningkatan. Pasalnya, harga komoditas tersebut sangat rentan terhadap kondisi geopolitik.
Risiko global yang saat ini menjadi sorotan ialah ketegangan antara AS dan Iran. Hubungan keduanya memanas setelah uji coba rudal balistik Iran, sehingga Paman Sam menjatuhkan sanksi seperti akses sistem keuangan dan perjanjian dengan perusahaan AS.
Kedua negara juga berperan sebagai pemasok minyak utama di kancah global. Berdasarkan data Bank Dunia, pada 2015 AS menghasilkan 12,7 juta barel per hari (bph) dan Iran menghasilkan 3,92 juta bph. Volume produksi tersebut membuat masing-masing negara menempati posisi pertama dan ketujuh produsen terbesar di dunia.
"Bila Presiden Donald Trump kembali menjatuhkan sanksi kepada Iran, maka harga minyak berpeluang menguat karena sisi suplai yang terganggu," tuturnya saat dihubungi Bisnis, Kamis (9/2).
Saat ini, pasar masih mengalami tekanan suplai minyak, termasuk dari AS. Data US Energy Information Administration (EIA) menyebutkan persediaan minyak sepekan yang berakhir Jumat (3/2) melonjak 13,83 juta barel menjadi 508,59 juta barel, atau level tertinggi sejak Mei 2016.
Dalam waktu yang sama, tingkat produksi naik 63.000 barel menuju 8,98 juta barel per hari (bph), atau level tertinggi sejak pertengahan April 2016. Sebelumnya pada Desember 2016, AS konsisten menahan produksi di level 8,7 juta bph.
EIA memperkirakan produksi minyak AS pada 2017 mencapai 9 juta bph, naik dari tahun lalu sebesar 8,9 juta bph. Sementara pada tahun depan, produksi kembali meningkat menuju 9,5 juta bph.
Meski data AS membebani sisi suplai, sambung Andri, pasar mendapatkan sentimen positif dari proyeksi berkurangnya produksi OPEC. Berdasarkan survei S&P Global Platts, pada Januari 2017, 10 negara anggota organisasi sudah merealisasikan 91% kesepakatan pemangkasan produksi atau setara dengan 1,14 juta bph menjadi 32,89 juta bph.
Sebelumnya pada rapat 30 November 2016, anggota OPEC sepakat untuk memangkas produksi sebesar 1,2 juta bph menjadi 32,5 juta bph mulai awal 2017.
Selanjutnya pada 10 Desember 2016, sejumlah negara produsen minyak mentah lainnya setuju menurunkan suplai baru sejumlah 558.000 bph. Artinya, mulai tahun ayam api, pasar minyak mentah akan mengalami selisih pasokan minyak baru hampir 1,8 juta bph.
Realisasi kesepakatan pemangkasan produksi ini direncanakan berlangsung pada paruh pertama 2017.
Menurut Andri, meski proyeksi terhadap tingkat produksi OPEC cukup menggembirakan, tetapi masih ada dua negara yang mendapatkan dispensasi pemangkasan suplai, yakni Libya dan Nigeria. Perekonomian kedua negara tersebut yang terguncang akibat serangan militan membuat pemerintah membutuhkan dana segar secepatnya.
Oleh karena itu, produksi minyak dipacu untuk menambah pemasukan negara. Libya yang tahun lalu mencatatkan penambangan rata-rata 500.000 bph, pada Januari 2017 sudah menaikkan kapasitas menjadi 700.000 bph. Sepanjang tahun ayam api, Libya bahkan berencana menggenjot suplai hingga 900.000 bph.
Pada kuartal I/2017, Andri memprediksi, OPEC akan terus menjaga komitmen pemangkasan produksi. Sementara pasar juga menantikan perkembangan Iran dan AS.
Dari sisi permintaan, pasar berharap pertumbuhan ekonomi global dapat mendongkrak sisi konsumsi. Dengan melihat berbagai sentimen yang ada, Andri memperkirakan harga minyak pada kuartal pertama akan berada di kisaran US$53-US$54 per barel.
"Itu prediksi yang moderat. Bila ketegangan AS dan Iran semakin tereskalasi, maka harga bisa menyentuh US$55 per barel," tuturnya.
Sementara itu, Tamas Varga, analis senior perusahaan broker PVM Oil Associates di London, mengungkapkan sebenarnya data mingguan minyak AS memberikan kabar baik. Pasalnya, persediaan bensin menurun yang mengindikasikan bertumbuhnya permintaan.
Berdasarkan data EIA, jumlah stok bensin pada pekan lalu turun 869.000 barel menjadi 256,2 juta barel. Angka ini meleset jauh dari prediksi para analis yang justru memperkirakan adanya kenaikan sebesar 1,1 juta barel.
"Penyerapan bensin mendukung kenaikan harga, meskipun tingkat persediaan minyak mentah melonjak," ujarnya seperti dikutip dari Reuters, Kamis (9/2/2017).