Bisnis.com, JAKARTA--Meski harga saham sektor pertambangan meroket tertinggi di bursa Indonesia, kinerja yang dibukukan oleh sejumlah emiten tambang tampaknya masih suram.
Analis PT Recapital Securities Kiswoyo Adi Joe menilai peningkatan komoditas, terutama batu bara belum berdampak besar terhadap kinerja emiten. Pendapatan sejumlah emiten tambang telah dikontrak dalam jangka waktu tertentu.
"Kalau harga minyak enggak sampai US$100 per barel, harga batu bara susah bertahan di level sekarang," ujarnya kepada Bisnis.com, Selasa (25/10/2016).
Hingga Selasa (25/10/2016), Indeks saham sektor pertambangan memimpin penguatan sektoral sejak awal tahun hingga 56,66%. Peningkatan harga saham sektor tambang didorong oleh menguatnya saham-saham batu bara.
Akan tetapi, empat emiten pertambangan yang merilis kinerja keuangan kemarin tidak terlalu menggembirakan. Pendapatan tiga dari empat emiten pertambangan merosot hingga kuartal III/2016.
PT Renuka Coalindo Tbk. (SQMI) harus menelan pil pahit dengan penurunan pendapatan paling dalam hingga kuartal III/2016. Pendapatan SQMI merosot 57,4% menjadi US$1,74 juta dari US$4,09 juta pada periode yang sama tahun lalu.
Disusul oleh PT Resources Alam Indonesia Tbk. (KKGI) dengan penurunan pendapatan sebesar 7,6% year-on-year. KKGI mengantongi penjualan bersih US$72,44 juta hingga September 2016, dari sebelumnya US$78,4 juta.
Emiten milik pengusaha Arifin Panigoro, PT Medco Energi Internasional Tbk. (MEDC) masuk dalam jajaran perusahaan dengan penurunan pendapatan. Pendapatan Medco terkoreksi 0,28% menjadi US$416,8 juta pada kuartal III/2016 dari US$418,05 juta.
Kondisi berkebalikan ditorehkan oleh PT Eksploitasi Energi Indonesia Tbk. (CNKO). Emiten ini berhasil meningkatkan pendapatan hingga 153% menjadi Rp1,71 triliun dari Rp678 miliar.
Akan tetapi, kondisi berbeda terjadi pada laba bersih masing-masing perseroan yang dapat diatribusikan kepada entitas induk. Medco Energi menjadi perusahaan yang berhasil membalikkan kondisi dari rugi menjadi laba.
Medco berhasil mengantongi laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada entitas induk senilai US$22,25 juta. Padahal, Medco sebelumnya harus membukukan rugi bersih US$51,13 juta pada kuartal III/2015.
Kinerja gemilang berikutnya ditorehkan oleh KKGI dengan peningkatan laba bersih hingga 75,8% y-o-y. KKGI mengantongi laba US$7,23 juta, melonjak dari US$4,11 juta.
Meski masih rugi, SQMI berhasil mengurangi kerugian hingga 91%. SQMI mencatat rugi bersih US$123.688 dari sebelumnya US$1,36 juta.
Pencapaian buruk ditorehkan oleh CNKO pada kuartal III/2016 dengan membengkaknya kerugian bersih. Rugi bersih CNKO naik 7,2% menjadi Rp145,25 juta dari Rp135,42 juta pada tahun sebelumnya.
Richard Jerry, analis PT BNI Securities, menilai kinerja MEDC secara tahunan maupun kuartalan, pendapatan masih terkoreksi lantaran harga minyak dunia yang rendah. Kenaikan laba bersih didorong oleh efisiensi, terlihat dari kenaikan margin operasional, baik secara tahunan maupun kuartalan.
Pada kuartal III/2016, sambungnya, laba bersih MEDC meningkat signifikan karena adanya keuntungan pembelian diskon sebesar US$18,8 juta, meskipun dikurangi juga oleh pajak final sebesar US$2 juta dari anak usaha PT Api Metra Graha.
Kemudian, pencatatan penjualan Bawean Holding Ltd. yang dicatatkan sebagai kerugian atas pengukuran nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual, sebesar US$11,9 juta.
"Tanpa ketiga hal tersebut, laba MEDC pada kuartal III/2016 mencapai US$19 juta, lebih rendah 20,3% dari yang tercatat dalam laporan keuangan, meskipun masih meningkat secara tahunan," kata dia dalam riset.
Dia memiliki pandangan, rebound harga minyak pada Oktober 2016 akan mampu mendorong harga jual minyak MEDC. Meskipun secara garis besar, dia melihat industri minyak masih akan menghadapi tantangan.