Bisnis.com, JAKARTA--Lembaga pemeringkat Standard & Poors memiliki skenario penurunan peringkat PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) jika harga nikel kian anjlok ditambah dengan tekanan pada regulasi.
Marcus Fernandes, Kepala Analis Kredit S&P, mengatakan tekanan itu membuat kemampuan pendanaan dari arus kas internal dalam 12 bulan ke depan melemah.
"Sehingga, rasio utang terhadap EBITDA mencapai 2,0 kali dan laba operasional terhadap utang di bawah 45%," tulisnya dalam keterangan resmi, Kamis (29/9).
Akan tetapi, S&P tidak memandang adanya skenario penaikkan peringkat dalam waktu dekat lantaran skala perusahaan dan diversifikasi yang sempit.
Emiten bersandi saham INCO itu disebutkan memiliki prospek stabil seiring proyeksi recovery harga nikel setelah terus tertekan sejak awal tahun. Perseroan juga melunasi beban bunga pinjaman dan belanja modal dari kas internal, tidak menambah utang baru.
S&P memproyeksikan, rasio utang INCO terhadap EBITDA dapat mencapai 1,6 kali dengan rasio laba operasional (funds from operations/FFO) terhadap utang sebesar 60%.
Hingga Juni 2016, utang jangka pendek INCO mencapai US$36 uta dengan modal kerja US$9,8 juta untuk 12 bulan ke depan. Belanja modal (capital expenditure/Capex) senilai US$85 juta dengan tidak ada pembagian dividen pada 2016.
Lembaga pemeringkat global itu menegaskan ratings INCO pada level BB dengan outlook stabil pada 27 September 2016. S&P juga menegaskan peringkat kredit INCO pada level BBB-.
Ratih Amri, Sekretaris Perusahaan Vale Indonesia, mengatakan perseroan mendapatkan surat peringkat dari S&P pada 27 September 2016. Corporate credit ratings Vale Indonesia di level BB.
"Dengan performa yang stabil sebagaimana ditunjang oleh matriks keuangan yang kuat dan likuiditas yang stabil untuk beberapa tahun mendatang," katanya dalam keterbukaan informasi di PT Bursa Efek Indonesia, Kamis (29/9/2016).
Emiten tambang nikel berkode saham INCO itu mencatarkan penurunan produksi hingga 1,28% sebanyak 36.256 ton dari periode yang sama tahun sebelumnya 36.727 ton.