Bisnis.com, JAKARTA--Harga seng mengalami kenaikan dalam delapan perdagangan berturut-turut akibat spekulasi pemangkasan produksi dan melemahnya dolar. Reli tersebut menjadi peningkatan terpanjang sejak Desember 2013.
Pada penutupan perdagangan Jumat (3/6) harga seng di London Metal Exchange (LME) naik 10,25 poin atau 0,52% menjadi US$1.989,75 per ton. Artinya, sepanjang tahun berjalan harga sudah menghijau sejumlah 26,03%.
Seng menjadi produk terbaik di antara enam logam utama di London Metal Exchange (LME) seiring dengan pemotongan produksi dan jatuhnya persediaan ke level terendah sejak 2009.
Ji Xianfei, Analis Guotai Junan Futures Ltd., menuturkan seng menjadi logam terbaik dalam sisi pembatasan produksi. Dalam jangka pendek, harga berpotensi melanjutkan kenaikan meskipun pasar akan mewaspadai pergerakan di jangka panjang.
Jumlah permintaan China akan menjadi salah satu sentimen utama yang diperhitungkan pasar.
"Dengan masih berlebihnya pasokan baja ada kemungkinan kegiatan penyulingan seng akan terbatas," tuturnya seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (6/6/2016).
Kenaikan seng juga didukung penguatan minyak Brent yang mencapai US$50 per barel dan WTI di atas US$49 per barel. Tingginya harga minyak membebani biaya produksi, sehingga menghambat penambang dalam memacu produksi.
Di sisi lain, indeks dolar AS yang masih lesu turut mendongkrak harga komoditas. Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat (3/6) melaporkan penambahan pekerja non pertanian (non-farm payroll/ NFP) periode Mei hanya sebesar 38.000, terkecil sejak September 2010.
Pada perdagangan Senin (6/6) pukul 16:36 WIB indeks dolar AS naik tipis 0,89 poin atau 0,09% menuju 94,118. Sepanjang tahun berjalan, harga sudah terkoreksi 4,63%.
Goldman Sachs Group Inc. seng menjadi logam andalan dalam pembentukan infrastruktur China. Secara keseluruhan, mereka memprediksi pasokan tahun ini turun 3,2% sedangkan konsumsi naik 1,9%. Hal tersebut memicu defisit pada 2016 sebanyak 114.000 ton dan 360.000 ton di 2017.