Bisnis.com, JAKARTA - Sepanjang tahun berjalan, harga saham emiten perkebunan PT Eagle High Plantation Tbk. melompat lebih dari 90%, dibayangi penyelesaian kontrak akuisisi 37% saham oleh perusahaan kebun asal Malaysia, Felda Global Ventures Holding.
Dalam 1 tahun terakhir, harga saham tertinggi emiten berkode BWPT ini tercatat sebesar Rp450 pada 12 Juni 2015. Dari kondisi puncak itu, perlahan-lahan saham BWPT ambrol ke level terendah Rp111 per saham pada 10 Desember 2015. Kisaran harga Rp100 bertahan hingga 26 Januari 2016.
Akhir Januari 2016, kabar pencaplokan BWPT oleh Felda Grup kembali menyeruak. Felda Investment Corp dikabarkan masih berminat membeli Eagle High Plantation. Syaratnya, Grup Rajawali memberikan diskon sebesar 10%-15% dari harga awal US$680 juta menjadi sekitar US$578 juta.
Dengan asumsi nilai tukar Rp13.500 per dolar AS, saham BWPT akan diakuisisi Felda pada level harga Rp667 per saham atau lebih dari empat kali lipat harga saham BWPT pada akhir Januari 2016. Sejak itu, harga saham BWPT terbang hingga 92,03% year-to-date.
Lonjakan harga saham BWPT secara year-to-date merupakan yang tertinggi di antara 13 emiten sektor perkebunan yang melantai di Bursa Efek Indonesia. Selain BWPT, saham PT PP London Sumatera Indonesia Tbk. naik 26,14%, PT Salim Ivomas Pratama Tbk. naik 25,6%, dan PT Provident Agro Tbk. naik 10,59%.
Apa yang membuat Felda tertarik untuk mencaplok BWPT?
Menilik kinerja perseroan, pendapatan BWPT mencapai Rp2,26 triliun dan diproyeksi meningkat menjadi Rp2,66 triliun pada 2015 dan Rp3,27 triliun pada 2016. Dari sisi produksi, total tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan perkebunan Eagle High Plantations mencapai 1,4 juta ton pada 2015.
Capaian tersebut naik 1,5% dari produksi pada 2014. Pada Januari 2016, total TBS yang diproduksi kebun sawit BWPT di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua mencapai 102.000 ton.
Analis PT DBS Vickers Securities Indonesia Ben Santoso mengatakan perubahan iklim dan El-Nino berisiko mengganggu produksi kebun sawit BWPT. Pasalnya, sawit merupakan tanaman yang perlu banyak air dengan perkiraan 1.600 mm hujan per tahun.
Sebagai perusahaan berbasis komoditas, pendapatan BWPT juga akan tertekan oleh anjloknya harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar global. Ben memperkirakan rerata harga CPO sebesar US$546 per metrik ton pada 2015 dan US$537 per metrik ton pada 2016.
"Dengan jumlah utang dalam dolar AS yang cukup besar, harga CPO rendah, kekeringan, dan lemahnya ekspor CPO, BWPT kekurangan earning drivers," tulis Ben dalam risetnya baru-baru ini.
Ben menilai akuisisi perseroan oleh Felda Global Ventures tidak serta merta memberikan dampak pada sistem operasional, pendapatan, maupun valuasi BWPT.
ARUS KAS
Ben menambahkan arus kas perseroan perlu dimonitor. Grup ini diproyeksi memiliki pinjaman bank senilai Rp1,5 triliun pada 2015 dan Rp500 miliar pada 2016.
Keseluruhan grup BWPT memiliki total areal kebun seluas 152.000 hektare. Dari luasan tersebut 26% atau 36.000 hektare kebun sawit yang akan memasuki masa panen pada 2016 hingga 2018 dan berpotensi mendongkrak produksi TBS dari 1,4 juta ton pada 2014 menjadi 1,7 juta ton pada 2017.
Dari sisi profitabilitas, BWPT diperkirakan meraup laba bersih pada 2016 dan 2017 setelah mencatat rugi bersih yang diestimasi sebesar Rp22 miliar pada 2015. "Kami perkirakan pendapatan BWPT rebound pada 2017 didorong oleh harga CPO dan peningkatan panen," pungkas Ben.
Sementra itu, Analis PT Koneksi Kapital Alfred Nainggolan menambahkan dengan mengeksekusi rencana akuisisi 37%, FGV berpotensi menjadi pemegang saham pengendali pada Eagle High Plantation.
Opsi pertama, PT Rajawali Capital International yang memegang 65,53% saham, akan melepas 37% kepemilikannya menjadi 28,53%. Opsi lain, perseroan akan menggelar tender offer kepada masyarakat yang menggenggam 34,46% saham BWPT.
"Kalau terjadi tender offer, investor punya ekspektasi saham BWPT akan dibeli di atas harga pasar. Harga transaksi sedang ditunggu, mungkin di atas Rp400 per saham," ujarnya.
Di samping isu produksi dan akuisisi, perseroan juga dituding melanggar prinsip keberlanjutan (sustainability) dalam pengelolaan kebun sawitnya.
Mengutip kajian Greenomics Indonesia, anak usaha Eagle High Plantation, yaitu PT Varia Mitra Andalan, dituding memangkas hutan dengan kadar cadangan karbon yang tinggi (high carbon stock/HCS) di Papua Barat. Land clearing di areal hutan HCS Papua diestimasi mencapai luas 13.000 hektare sepanjang 2010-2014.
Saat ini, perseroan telah menjadi anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan menargetkan akan mengantongi sertifikat RSPO pertama pada tahun ini.
Akhir Maret 2016 menjadi penentuan apakah rencana akuisisi 37% saham BWPT akan direalisasikan FGV, atau apakah ini hanya strategi untuk meraup keuntungan dari tingginya volatilitas saham anak usaha Grup Rajawali ini?