Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Devaluasi Yuan dan Dampak Jangka Panjang Bagi Indonesia

Kebijakan devaluasi nilai mata uang Yuan China berdampak terhadap pergerakan mata uang dan pasar modal di dunia, termasuk Indonesia. Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan devaluasi mata uang Yuan dan dampaknya bagi Indonesia?
Yuan/Bloomberg
Yuan/Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA--Kebijakan devaluasi nilai mata uang yuan China berdampak terhadap pergerakan mata uang dan pasar modal di dunia, termasuk Indonesia. Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan devaluasi mata uang yuan dan dampaknya bagi Indonesia?

Pada dasarnya, devaluasi adalah penurunan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang luar negeri. Jika hal tersebut terjadi, biasanya pemerintah melakukan intervensi agar nilai mata uang dalam negeri tetap stabil.

Istilah devaluasi lebih sering dikaitkan dengan penurunan nilai uang satu negara terhadap nilai mata uang asing. Devaluasi juga merujuk kepada kebijakan pemerintah, dalam hal ini China.

Perusahaan sekuritas Henan Putihrai dalam riset yang dipublikasikan Rabu (12/8/2015), menyebutkan devaluasi mata uang yuan harian sebesar 1,85% terhadap dollar Amerika Serikat dan 2,2% terhadap Euro pada perdagangan Selasa (8/11/2015) menimbulkan shockwave terhadap pelaku pasar.

Bukan hanya karena penurunan tersebut merupakan penurunan harian terbesar sejak 1994, namun langkah tersebut juga merupakan unexpected moved yang dilakukan oleh pemerintah China yang dinilai sebagai bagian dari reformasi Pemerintah China untuk mengupayakan perluasaan penggunaan yuan secara global.

Sebelumnya, pemerintah dan PBOC melakukan kontrol secara ketat terhadap pergerakan nilai tukar yuan melalui berbagai intervensi seperti reserve requirement ataupun kebijakan langsung untuk mencegah transfer dana.

Akan tetapi, di lain sisi, devaluasi yuan memberikan sinyal kepada pasar bahwa situasi pertumbuhan ekonomi China yang mengkhawatirkan sejalan dengan perlambatan pada investasi, konsumsi masyarakat, dan ekspor.

Devaluasi yuan terjadi setelah pemerintah melaporkan data ekspor China mengalami penurunan 8,3% (year on year/y-o-y) pada Juli 2015, berada jauh di bawah estimasi akan penurunan ekspor sebesar 1%.

Pelemahan mata uang diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekspor China dan meningkatkan daya saing produk domestik terhadap barang-barang impor. Produsen China dikhawatirkan akan kembali menggunakan bahan domestik.

"One off currency depreciation” juga dilakukan sebagai langkah reformasi yuan sehingga nilai tukar yuan terbebas dari banyaknya intervensi pemerintah menuju pada nilai wajar pasar (market-oriented approach).

Di tengah perlambatan ekonomi, penurunan ekspor dan tingginya posisi utang terhadap GDP saat ini, penurunan nilai tukar yuan merupakan hal yang sangat wajar.

Pemerintah China saat ini sedang mengupayakan status yuan sebagai mata uang cadangan resmi global atau special drawing rights (SDR) di IMF, yang saat ini mengikutsertakan mata uang AS dollar, euro, pounds dan yen.

Pergerakan nilai tukar Yuan mengikuti volatilitas pasar dan meminimalisasi intervensi pemerintah merupakan salah satu cara yang harus ditempuh agar medapat persetujuan IMF pada November 2015 mendatang.

 

Dampak Paling Memungkinkan Bagi Indonesia

Di tengah kondisi lemahnya pertumbuhan ekonomi global dan tingginya risiko deflasi pada berbagai negara, penurunan nilai tukar yuan tersebut dikhawatirkan dapat memicu terjadinya currency war.

Penurunan yuan diperkirakan dapat menyebabkan penurunan daya saing barang-barang impor terhadap produk domestik China sendiri. Hal tersebut dapat meningkatkan potensi devaluasi mata uang oleh negara-negara lain khususnya negara yang melakukan ekspor ke China seperti Eropa dan Australia sebagai cara untuk menjaga daya saing ekspor.

Devaluasi yuan menimbulkan spekulasi akan penundaan normalisasi oleh The Fed, melihat dampak penguatan dolar AS berlanjut akan memberikan dampak terhadap pertumbuhan industri dan ekspor AS, walaupun menurut pengamatan Henan Putihrai, potensi penundaan normalisasi suku bunga akibat dari devaluasi yuan sejauh ini masih sangat kecil.

Devaluasi yuan menimbulkan spekulasi akan tingginya potensi tekanan berlanjut pada ekonomi China, harga komoditas global dan harga jual minyal global. Apresiasi dolar AS akan kembali menurunkan daya beli masyarakat akan barang komoditas dan tentunya minyak.

Di tengah kondisi supply yang tinggi oleh OPEC dan AS, penurunan daya beli masyarakat kembali meningkatkan spekulasi akan tekanan berlanjut pada komoditas.

 

Sudut Pandang Henan Putihrai

Henan Putihrai tetap pada view bahwa pertumbuhan akan ekonomi China pada kuartal III/2015 masih belum akan menunjukkan perbaikan secara signifikan, seperti tertulis dalam laporan sebelumnya.

Walaupun “High Frequency Data” China untuk bulan Juni 2015 menunjukkan sinyal perbaikan, namun data ekonomi terakhir untuk bulan Juli meningkatkan spekulasi bahwa momentum pertumbuhan pada bulan Juni bukan merupakan perbaikan yang solid masih memiliki potensi tren pelemahan memasuki kuartal III/2015.

Dengan diberlakukannya market oriented approach dalam penentuan nilai tukar yuan di tengah situasi ekonomi China yang lemah, maka Henan Putihrai menilai tren penurunan nilai Yuan akan terus berlajut. Bagaimana devaluasi yuan memberikan dampak efektif pada ekonomi dan pasar masih merupakan perdebatan saat ini.

Akan tetapi, Henan Putihrai melihat, pelemahan Yuan sebagai indikasi bahwa transformasi yang dilakukan China menuju consumption driven economy mengalami tekanan yang tinggi, sehingga Pemerintah kembali berupaya meningkatkan ekspor untuk menopang pertumbuhan ekonomi.

Henan Putihrai menilai bahwa short term impact dari depresiasi yuan secara signifikan menyebabkan penurunan yield bagi investor sehingga meningkatkan potensi outflow dari bursa China secara massive.

Pihak Henan Putihrai melihat pelemahan bursa China akan kembali memberikan sentiment negative terhadap pergerakan IHSG mengingat korelasi yang sangat tinggi antara GDP Indonesia dan China serta tingginya ekspor Indonesia ke China.

Penurunan yuan membuat potensi pertumbuhan ekspor Indonesia ke China menjadi semakin kecil. Walaupun untuk jangka panjang, apabila produktifitas China dapat bergerak dengan cepat masih ada kemungkinan negara tersebut perlu mengekspor bahan mentah dari negara-negara seperti Indonesia.

Henan Putihrai menilai pasar memperhitungkan sinyal pelemahan ekonomi berlanjut lebih dominan dari sekedar reformasi Yuan. Data penting untuk bulan Juli seperti Retail Sales YOY, Industrial Porduction YOY dan Fixed-asset investment Growth YTD akan dirilis, menjadi indikasi terkini akan pertumbuhan China.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Sukirno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper